Kolom


Nenekku Sedang Tidur


21 Februari 2015 pukul 06.15, tidak ada lagi denyut pada jantungnya, tidak ada lagi suara yang menghentak-hentak dadanya. Semuanya begitu sunyi, seperti kata Bodhi dalam novel ‘Akar’, tidak ada yang lebih merdu dari suara detak jantung. Dan detik ini untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merindukan suara detak jantung dari seseorang, detak jantung nenekku.

***
Mbahku Iyem dan Tetangannya Mbah Narni

Aku tahu, sedari kemarin, saat duduk di bangku bus dalam perjalanan menuju kampung, jutaan anak panah penyesalan seperti menyergap punggunggku. Lagu dangdut yang mengalun dari televisi pak supir hanya seperti suara bandul-bandul jam di telingaku yang terus menghitung mundur momen-momen ingatanku.

Setahun lalu saat aku pulang kampong dan pergi ke sawah, membantu mbah memetik kacang panjang yang sudah tua. Lalu berisitirahat di amben kayu beratap jerami di tengah sawah. Mbah memiliki tangan dan kaki kaki yang kuat, aku tahu itu, jauh lebih kuat dariku. Saat mbah melahirkan mama yang premature, waktu usia ke hamilan 7 bulan. Saat itu mama hanya berukuran sebesar botol kecap, mama yang menceritakan padaku. Jaman dulu tak ada kotak inkubasi yang biasa digunakan untuk tindakan bayi-bayi premature. Dulu, entah bagaimana caranya, mbah bisa bertahan dan mempertahankan mamaku.

Bus masih melaju dengan kencangnya. Bibirku mengumamkan lirih doa-doa yang pernah kuhapal saat pelajaran agama di sekolah, atau shalawat-shalawat yang sering kudengar sehabis maghrib dari to’a masjid dekat rumahku. Berharap doa-doa itu akan membangunkan nenekku dari ketidaksadarannya selama beberapa jam belakangan. Berharap dan berharap mbah akan baik-baik saja. Meski aku tahu, mbah tak lagi baik-baik saja semenjak ditemukan jatuh tak sadarkan diri di dapur oleh Mbah Narni -tetangga mbah-kemarin.

Bus terus melaju kencang menembus kabut malam, seperti harapan-harapanku yang tak tergenggam. Pikiranku berlarian antara mbah dan mama, mbah yang tak sadarkan diri mungkin sedang menghadapi puluhan atau bahkan ratusan ‘makhluk asing’ yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mama dengan kesedihannya yang tertinggal di rumah karena tak bisa ikut mengunjungi mbah, bahkan di saat kritis seperti ini. Sepanjang jalan, hanya gelap dan pohon-pohon yang kulihat dari kaca jendela bus. Hanya gelap dan pohon pohon, tak ada apa-apa lagi.

Aku lalu teringat pesan singkat dari kakakku 2 hari lalu, bahwa ia bermimpi rambutnya dipotong menjadi pendek oleh mama lalu ia menangis sedih sekali. Aku yang tak begitu menyukai mimpi hanya mengacuhkan pesan itu dan tak membalasnya. Dan hari ini saat kukabarkan padanya bahwa mbah kritis, ia langsung kembali membahas mimpinya, bahwa arti dari mimpi yang ia cari di internet adalah akan berpisah dengan orang yang dikasihi (kekasih, orang tua, kakek atau nenek).

Entahlah, semuanya seperti rangkaian peristiwa yang aku tak mengerti. Takdir, akankah Tuhan menjawab doaku dengan mengubah takdir? Atau lantas tidak mengubah doa tetapi menambah keikhlasan dalam hati? Tapi Tuhan, apakah sekarang adalah waktunya?

Aku, Amir, Lek Tuti , lek No, dan Lek mi, malam itu penuh dengan keheningan. Aku tahu, setiap dari pikiran kami pasti sedang memikirkan hal yang sama. Bagaimana keadaan mbah? Adakah kami sempat? Adakah kami sempat? Aku berusaha memecah keheningan dengan menawarkan potongan roti besar, tapi semua menolak. Tak ada yang nafsu makan sejak sore tadi. Perut kami, seperti pikiran kami, hampir kosong.

Pukul 01.40, kami tiba di terminal Wonogiri, dengan badan yang beku. Ya, pendingin di bus kurasa disetel sangat rendah, selain itu cuaca malam Wonogiri benar-benar membuat tubuh kami kaku. Lek no langsung berjalan ke arah pertigaan, kami mengikutinya dari belakang. Rumah sakitnya berada sekitar 100 meter dari terminal dan kami berjalan menuju rumah sakit dengan perasaan yang amat tak karuan.

Setibanya di depan Rumah Sakit, Lek Eem menelpon dan mengabarkan bahwa kata dokter, pembuluh darah mbah telah pecah. Pecahlah juga tangis kami sambil bergegas merangsek masuk ke dalam rumah sakit. Lek Mi terhuyung seakan mau pingsan. Benar, ia lemas dan tak mampu berdiri. Lek tuti dan Lek No lantas langsung masuk ke dalam ruang ICU diikuti aku. Aku dan Lek Tuti membaca doa-doa dengan suara yang terkadang hilang ditelan tangisan. Masih dengan harapan yang sama, doa-doa itu akan dapat membangunkan mbah dari kritisnya.

Detik-detik yang berjalan adalah hitungan tiap tetes tangis dan doa kami, harapan dan kesedihan seperti nafas yang kami hirup dan buang. Beberapa jam terlewati, mbah masih tak sadarkan diri, bahkan detak jantungnya semakin melemah. Setidaknya itu yang dapat kulihat di monitor. Napasnya yang kacau dan keras merupakan senjata biologis yang menyayat perasaan kami.

Harapan kami belum lekas terjawab dan perlahan doa-doa itu pun hendak berganti harapan : doa-doa ini akan memberikan ketenangan padanya. Pukul 06.15 detak jantungnya berhenti, nafasnya habis, garis di monitor sudah berjalan lurus. Mulut kami mengucapkan doa-doa panjang, sepanjang air mata kami.

***
Rasanya tak percaya, kau yang kuat dan nyaris tak pernah sakit kini benar-benar menjemput maut di tengah keheningan. Pernah kau berkata, jika aku meninggal nanti, aku ingin meninggal tanpa menjadi beban. Dan sekarang aku percaya, bahwa kau adalah orang yang benar-benar serius dengan ucapanmu. Kau menepati janji, dan Tuhan merestui doamu. Tak ada tanda-tanda bahwa kau mengalami sakit, kau bahkan masih pergi ke sawah setiap hari, bahkan sehari sebelum kau ditemukan jatuh di dapur. Dan buktinya kini hanya sehari, kau hanya memberikan waktu kepada kami untuk melunaskan pertemuan, untuk benar-benar merawat dan mendoakanmu.

Aku mengamini hadits Nabi saw. bahwa sebaik baik nasihat adalah kematian. Aku menangis entah untuk apa. Bukankah ini kabar bahagia untukmu? perjalanan panjang nan melelahkan dalam hidupmu telah usai, dan kini saatnya kau tertidur.

Untuk kehilangankah aku menangis? Itu sudah pasti, setiap kehilangan membekaskan kepiluan. Dan kuakui, ini kepiluan terbesarku sepanjang 25 tahun aku menapaki bumi ini. Tapi apakah aku benar-benar kehilangan? Bagaimana caranya hingga seseorang dianggap hak milik oleh seseorang yang lain? Bukankah segalanya adalah milik Tuhan? Bahkan bakteri sekecil apapun tak pernah luput dari kuasaNya.

"Mahasuci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu."

Semoga kelak kita berkumpul kembali di surgaNya, Aamiin.
****



Aku jatuh cinta pada tanganmu yang kotor tapi tak meminta

Jakarta, 28 Februari 2015Beberapa waktu lalu aku pergi ke rumah sakit, menjemput kakakku yang bekerja di sana. Pukul setengah dua aku berangkat dan tiba disana pukul dua. Sekitar setengah jam aku menunggu kakakku di depan rumah sakit sambil memperhatikan sekeliling. Lalu mataku menangkap seorang nenek dengan tubuh yang membungkuk, menghadap tempat sampah. 

Entah apa yang ia cari, barangkali seberkas botol atau gelas plastik. Ingin kuhampiri tapi tak kubawa sepeserpun dalam saku. Kupandangi lekat-lekat tubunya, semakin kupandangi aku semakin jatuh cinta dan sedih. Semoga ada orang lain yang berbaik hati.

Keesokan harinya kujemput kakakku lagi tapi tak kutemui nenek itu. Esok lusanya lagi kujemput kakakku. Setengah jam kakakku belum keluar juga, aku pergi sebentar ke tukang jus dan tak berapa lama akhirnya kakakku datang. Saat ingin pulang, kakakku berbisik sambil memberi isyarat dengan matanya bahwa di belakangku ada nenek pemungut sampah itu. 

Kuberikan roti dan beberapa lembar uang lalu diulurnya tangan hitam itu, tangan yang kotor karena sampah itu tak digunakannya untuk meminta. Ia manfaatkan segala yang ia punya untuk mencari rezeki yang halal. 

Ia tak meminta.

Ia bekerja dengan apa yang orang lain anggap sudah tak berguna. Seketika aku ingat ibuku di rumah, mungkin usianya tak jauh beda dengannya. Ia ucap terima kasih lantas aku pun beranjak pergi. Ia masih memandangku sambil terus mengucap beberapa kata yang aku tak sanggup dengar. Aku mengingat ibuku lagi.

Aku kenang tangan yang kotor itu, tangan kotor tapi tak meminta.

Sekarang aku kangen dan sepi. Terkenang tangan itu, terkenang wajahnya yang sayu. Kusapa ia jadi doa di malam mini. Ibu sedang apa? Sudah makan belum? Semoga selalu sehat, Tuhan melindungimu dengan cara yang tak kita tahu. (anw)


April 2015



27.4.15

Migrain oh Migrain


Kutulis apa yang kurasakan untuk diriku yang sedang bersedih karena terkena migrain. Dan untuk diriku yang sedang berbahagia karena cicilan laptopku akhirnya lunas. 

Ini kali pertamanya aku terkena migrain dalam hidupku, seakan ada sesuatu yang hidup di kepala bagian kanan belakang. Hal ini tentu sangat mengganggu ketika migrainku sedang parah-parahnya, tapi aku sudah kadung janji dengan seorang teman untuk hadir sebagai juri lomba melukis di acaranya.

Sedang menjuri kepala berdenyut, sedang bicara kepala berdenyut. Sedikit kuhentak-hentakkan telapak tanganku ke kepala, berharap migrain itu akan reda. Namun bukannya menjinak, migrain itu seakan bertambah liar. Semakin aku melawannya, migrain itu seperti ikut melawan juga, malah galakan dia. 

Sepulang jadi juri, migrainku bertambah parah, obat yang kuminum pun tak mempan untuk mengatasi migrain ini. Kubawa shalat, itu pun tak khusyuk karena rasa sakit yang tak karuan. 

Lalu aku sedikit berpikir (karena jika terlalu banyak, aku khawatir migrain ini malah semakin menjadi.). Aku sedikit berpikir, bahwa ternyata aku lupa mengenai Law of Atrraction, hukum keikhlasan kuantum di alam semesta. Tidak seharusnya aku melawan dan bersedih atas apa yang telah Tuhan beri, walaupun itu dalam bentuk migrain. Karena ketika migrain itu berdenyut, sontak mulutku pasti langsung menyebut, istighfar-istighfar.. Bukankah itu bagus?

Lalu aku aplikasikan kemampuan berserahku dengan menantang migrain itu. Kali ini aku tidak melawannya, tapi aku persilahkan ia datang ke kepalaku. Migrain, datanglah.. Aku tidak takut. Akan kutanggung dirimu dengan keikhlasanku padaNya. Sang Maha Pemberi Migrain.

Benar saja, migrain itu semakin sering datang. Ternyata ia memenuhi panggilanku. Sudah 2 hari migrain masih singgah di kepala bagian kanan belakang. Ternyata ia tidak mempan oleh kepasrahanku. Barulah kusadari, mungkin aku belum benar-benar ikhlas dan pasrah. Toh nyatanya aku jadi berat berdiri melaksanakan shalat karena migrain itu. 

Lalu aku berpikir lagi, kali ini sedikit kuperbanyak pikiranku. Ya, sekarang aku tahu apa yang akan kulakukakan. Melawan migrain itu dan menyerahkan skornya kepada "sang Wasit". Allah Ta'Ala. 

Sebelum tidur di malam hari aku berdoa "Ya Allah terima kasih telah mengizinkan aku berbaring di malam ini untuk melepas lelah. Aku ikhlaskan migrain ini menimpaku, aku bahagia sebab jadi tahu bagaimana rasanya migrain itu. Tapi seandainya boleh memilih, tolong angkat migrain ini dari kepalaku dan jadikan sebagai penggugur dosa baginya. Serta bangunkan aku pada pukul 2 malam nanti, aku ingin sujud dan berdoa padaMu."

Pukul 02.00 tepat aku bangun. Luar biasa, Allah mengabulkan do'aku. Tapi rasanya aku tak sanggup menahan kantuk hingga aku pun tertidur lagi. Memang kurang ajar betul hambaMu yang satu ini. Sudah meminta dan dikabulkan, malah ngaret. Satu jam kemudian aku  baru benar-benar bangun, aku telat satu jam dari perjanjianku dengan Tuhan.

Dan di malam ini aku merasa benar-benar kurang ajar, dalam do'aku aku meminta banyak sekali. Shalat 4 rakaat, mintanya banyak sekali. Tapi malam itu, aku benar benar bahagia. 

Di pagi harinya, entah kenapa tidak ada yang berarti, kepalaku masih migrain, tapi aku mencoba untuk mengalihkan pikiranku pada hal hal yang menyenangkan dan melupakan bahwa aku sedang migrain. Siang harinya aku minum obat lagi, lalu sorenya migrainku pun akhirnya mulai mereda. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur. Kini aku tahu rahasianya hidup ini : Semakin kuat keinginanku akan sesuatu, semakin kuat pula aku harus mengikhlaskan sesuatu itu. (anw)

-Ditulis dari laptop yang cicilannya sudah lunas. Jakarta, 27 April 2015-

4.6.15

Menjadi Anak Yang Baik Sebelum Menjadi Orang Tua Yang Baik


Bismillahirrahmanirrahim.

Saya awali hidup saya dengan kesyukuran saya yang luar biasa pada Allah swt. Telah dilengkapilah kepada diri saya saudara-saudara yang menemani dan menyayangi saya. Orang tua yang berpuluh tahun merawat saya. Juga dikarunikan anak-anak yang mengajarkan saya ketabahan dan kesyukuran. Sehingga sedikit demi sedikit saya pun mulai belajar tentang ilmu parenting. Baik dari hikmah, pengalaman, maupun tindakan langsung.

Yang pertama, hikmah tentang seorang keluarga dengan ibu dan ayah yang bekerja. Barangkali tak ada yang menginginkan keadaaan semacam itu. Mengingat anak adalah titipan dari Allah, yang tidak sepatutnya dititipkan lagi (baik kepada pengasuh maupun kepada saudara). Seorang wanita yang sibuk bekerja, atau sibuk menuntut ilmu di luar rumah, atau sibuk mengajarkan ilmu di luar rumah hingga waktunya lebih banyak dihabiskan di luar rumah. Tidak akan jauh lebih baik dari seorang wanita yang mampu mengurus rumah tangganya, dicintai suaminya, dan disayangi oleh anak-anaknya.

Kebutuhan anak mungkin tercukupi secara materiil, tetapi tidak tercukupi dalam memorinya mengenai kasih sayang bersama orang tua. Selama ini yang terkenal di masyarakat hanya sebutan anak durhaka, tapi tidak ada sebutan untuk orang tua durhaka. Sebenarnya kedurhakaan orang tua bisa terjadi lebih dulu sebelum anak itu berdurhaka kepada orang tuanya. Pertama ketika anak tidak tidak diberikan nama yang baik, kedua ketika tidak diajarkan ilmu Al-Qur’an, ketiga tidak diberikan kasih sayang.

Sama halnya dengan tiga kewajiban ayah pada anaknya. Pertama menanamkan tauhid, sampai anak mengucap dan menghayati bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan ayah. Kedua, menjauhkan anak dari syirik, yaitu perbuatan menyembah sesuatu kepada selain Allah. Ketiga, mengajarkan untuk tunduk dan patuh kepada syari’at. Teorinya seperti itu, tapi akan sulit ketika menjalaninya langsung. Banyak fenomena ayah gagal, tidak bertanggung jawab terhadap anaknya dan lebih mengikuti nafsu duniawinya. Sudahkah para ayah mempertanyakan kepada dirinya apakah ia sudah bertanggung jawab kepada anaknya.

Ketika dua orang memutuskan untuk menikah. Secara otomatis, mereka juga harus mampu bertanggung jawab terhadap pilihannya. Bertanggung jawab untuk menjalani syari’at pernikahan dan bertanggung jawab terhadap amanah Allah yang telah dianugerahkan kelak kepadanya. Memang tidak ada yang salah dalam mengejar cita-cita. Yang salah adalah melupakan bahwa orang tua juga semakin renta dan menua. Tidak ada yang salah dalam mencari rizki. Yang salah adalah melupakan caranya mencari rizki dengan cara yang diridhoi Allah swt.


Kedua, hikmah tentang seorang ibu yang merawat anaknya sendiri dan ayah yang menafkahi tanpa melupakan kecukupan untuk anak dan istrinya. Ibu yang bekerja akan lebih tidak bisa fokus dalam mengurus rumah tangga dan anaknya. Setengah pikirannya masih lelah karena pekerjaan di luar rumah. Hingga tidak mempersiapkan hal-hal yang benar dibutuhkan oleh anak. Yaitu masa keemasan (usia 0-2 tahun) yang sepatutnya diisi dengan edukasi. Mempersiapkan anak untuk hidup di masa yang akan datang, mengajak anak untuk berbicara, menceritakan segala sesuatu yang dialami atau dirasakannya.

Ibu yang fokus merawat anaknya akan lebih mudah membentuk anaknya sesuai dengan ketentuan syari’at. Anak pun tidak akan gampang rewel dan membangkang. Kasih sayangnya tercurah sepenuhnya untuk anak sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap Allah. Berbeda dengan seorang ibu yang menitipkan anak kepada pengasuh. Anak cenderung lebih dekat kepada pengasuh daripada ibunya sendiri. Pengasuh pun belum jelas diketahui apakah mempunyai edukasi unuk mengurus anak atau tidak. Bukan hanya soal lihai memandikan, memberi makan atau mengajaknya tidur tepat waktu. Soal itu mungkin sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi sudahkah pengasuh benar benar mengetahui bagaimana cara membentuk perilaku anak yang berbudi luhur dan memberikan pondasi agama sejak dini.

Barangkali itulah yang bisa saya tulis dan saya coba pahami sedikit demi sedikit. Berbagi hikmah dan pengalaman tanpa bermaksud menggurui atau mencari cela dalam hidup orang lain. Ada kalanya kita perlu saling membuka diri, untuk mengoreksi kekurangan diri dan menerima masukan yang baik. Saya hanya teringat kisah mengenai Uwais Al- Qorni yang dikenal dan dikagumi oleh penduduk langit tapi jarang ada penduduk dunia yang mengenal dirinya. Uwais sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya. Kemana mana ia menggendong ibunya yang lumpuh dan dengan telaten merawatnya. Sampai ketika keinginannya untuk bertemu Nabi Muhammad saw telah memuncak dan ia pun izin kepada ibunya untuk menemui Rasul ke Madinah, namun sesampainya di Madinah ia tidak bertemu dengan Rasul karena Rasul sedang berperang kala itu.

Uwais pun kembali pulang kepada ibunya. Setelah itu Rasul mengatakan bahwa Uwais adalah penghuni langit walaupun tidak terkenal di bumi. Subhanallah. Sebelum menjadi orang tua, cintailah dulu orang tua kita. Jika cinta mereka sudah kita genggam, maka Allah akan mencintai kita bagaimanapun caranya. Namun kini banyak yang salah mengartikan cintaNya Allah dan menganggap bahwa kasih sayang orang tua hanya berupa benda benda saja, hanya berupa materiil saja. Tanpa menyadari bahwa hidup kita adalah kelindan skenario terbaik yang telah dirancang Allah sedemikian rupa karena kasih sayangNya.

Jika kita sendiri sukar merasa bahwa kita adalah produk terbaik dari orang tua, maka maafkanlah mereka. Jangan membalas dengan mendurhakainya. Orang memang jauh lebih mudah mengingat hal buruk yang dilakukan orang tua ketimbang hal buruk yang sudah kita lakukan kepada orang tua. Ingatlah kebaikannya, berapa tahun sudah ibu setia memasak makanan untuk kita, memandikan, bangun malam di sela sela tidurnya ketika kita menangis karena lapar atau digigit nyamuk. Berapa puluh tahun sudah doa doa yang sudah dipanjatkan mereka untuk kebaikan kita. Tidak ada orang tua yang sempurna, pun tak bisa kita bersikap sempurna.

Ingatlah Umar Bin Khattab yang lahir tanpa edukasi dari orang tua yang muslim. Namun Islam mampu membentuk kepribadiannya menjadi sahabat Rasul yang penuh teladan. Begitupun seharusnya, Islam menjadi panduan yang sempurna untuk hubungan dengan Allah maupun dengan sesama. Rasul pun menyuruh kita menghormati ibu sebanyak tiga kali lalu menghormati ayah sebagai yang keempat, padahal Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim piatu, tanpa pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya.  

Tidak akan mendapat rezeki yag baik dari Allah jika seorang anak berhenti mendoakan ibu dan ayahnya. Semoga kita dicatat sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua sehingga bisa dikumpulkan bersama ke dalam JannahNya. Aamiin.. (anw)

25.6.15

Berjamaah Tetapi Seperti Sendirian

Aku akan menceritakan sedikit pengalamanku yang mungkin kurang menarik. Tapi biarlah, aku tetap ingin menceritakannya. Sebenarnya hal ini sudah kualami dalam setiap tahunnya. Tak ada yang berubah, selalu saja begini. Selalu saja berjamaah tetapi seperti shalat sendirian. Ceritanya mengenai shalat tarawih di masjid. Barangkali ini bukan hanya dialami olehku yang kesepian dalam shalatnya, tetapi mungkin juga masih banyak orang-orang yang kesepian lainnya dalam shalatnya. Dan rasanya aku ingin menemani setiap yang kesepian itu.

Ceritanya begini, karena aku adalah perempuan, maka aku turut shalat di tempat perempuan, dan jadilah aku sholat bergabung dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan. Jadilah juga aku dipanggil ibu-ibu oleh anak-anak di sekitar situ. Entah karena sikapku yang dewasa atau tampangku sudah terlihat tua untuk bisa disebut sebagai ibu-ibu.

Untuk ukuran masjid, Alhamdulillah masjid di dekat tempat tinggalku sudah 3 lantai. Walaupun fasilitas sarana dan prasarananya masih terbatas, seperti tak ada AC atau kipas angin yang cukup. Jadi terasa sangat panas dan gerah. Tapi makna sebuah tempat cuma hati yang bisa mengubahnya. Daripada mengeluh, maka kumaknai saja bahwa setiap tetes keringat saat shalat adalah setiap tetes pahala yang mengalir. Entahlah, itu hanya doa saja yang kupanjatkan.

Saat masuk masjid, seorang tetangga menegur dan ingin shalat berbarengan denganku. Sementara ia mengambil wudhu, kubawakan sajadah dan mukenanya, kugelar rapat di sebelahku dan aku pun meletakkanya di shaf yang sebelumnya sudah ada jamaah. Tak lama ia datang dan bilang bahwa di tempat itu gerah, dan biasanya ia shalat di dekat kipas angin. Aku hanya tersenyum sabar, setelah kulihat ke belakang, memang barisan shalat kacau sekali. Hampir setiap jamaah tidak mau di depan dan merapatkan shaf lalu lebih memilih untuk shalat di tempat yang ada kipas angin.

Aku tidak tahu harus bagaimana, hari hari sebelumnya sudah sering kuingatkan, memang ada yang menurut ada yang tidak. Yang menurut pun biasanya di tengah-tengah shalat akan pindah juga. Kupikir dari sinilah aku merasa bahwa sebenarnya manusia itu butuh kesadaran secara sosial, pun secara spiritual. Tak lama, tetanggaku itu bergeser dan menjauh dariku. Ia mengatakan bahwa gerah jika shalatnya rapat. Sekali lagi, aku hanya tersenyum sabar. Untuk pengumuman merapatkan shaf sudah sering diperingatkan oleh imam tiap kali saat akan shalat. Kupikir dalam hal ini, mereka sudah tahu tentang itu. Tapi memang, pengetahuan hanya akan jadi pengetahuan jika tidak dipahami dan diamalkan. Dan aku pun tak merasakan kehangatan berjamaah disini. Tak ada kehangatan berapat-rapat dalam jamaah. Aku kesepian selama bertahun tahun dalam bulan Ramadhan, dalam barisan shalat berjamaah.

Barangkali harapan untuk rapat dalam shalat berjamaah terlalu tinggi, maka lebih baik kusederhanakan harapanku saja. Alhamdulillah jika sudah berniat melangkahkan kaki ke masjid. Alhamdulillah jika sudah berhasil meninggalkan acara televisi dan memilih untuk shalat tarawih. Tapi harapan yang tidak didoakan hanya akan jadi harapan. Dan doa yang tidak diikhtiarkan hanya akan jadi doa yang tidak kunjung terkabulkan. Semoga kelak kita bisa rapat berjamaah dalam shalat, bisa nikmat dalam shalat berapat-rapat.(anw)




4.6.15

HIJRAH



: Untuk mereka yang mencari dan terombang ambing dalam pencariannya.

Hijrah adalah perpindahan yang bertujuan untuk suatu kebaikan. Pada umumnya hijrah dilakukan dengan perpindahan dari satu tempat menuju ke tempat lain yang lebih baik. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang hijrah dari Mekkah ke Madinah. Rasul bersama sebagian dari pengikutnya hijrah dengan tujuan menyelamatkan diri dari tekanan Kaum Kafir Quraisy. 

Hijrah juga dilakukan karena sebuah alasan yang menyebabkan seseorang tidak menjadi lebih baik. Sehingga ia akhirnya memutuskan untuk berhijrah. Dalam hal itu bisa juga disebut dengan transformasi hati. Transformasi hati adalah perpindahan hati dari hati yang kotor menjadi hati yang bersih. Setidaknya berusaha untuk selalu dan terus menerus membersihkan hati dari kotoran-kotoran nafsu duniawi. Perjalanan untuk transformasi hati bukanlah perjalanan yang mudah, melainkan dipenuhi kerikil hingga batu batu besar sepanjang perjalanan hijrah ini.

Tidak mudah seseorang memutuskan untuk bisa berhijrah, melainkan dibutuhkan usaha-usaha untuk terus mendekat kepada sesuatu yang lebih baik. Dibutuhkan niat yang kuat untuk membentengi diri dari hal hal yang bisa merusak proses hijrah. Dibutuhkan konsistensi terhadap komitmen yang telah dibuat dalam berhijrah.

Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubah diri mereka sendiri. Lihatlah, bahwa hidayah tidak datang dengan sendirinya, melainkan dari orang yang mencarinya. Lantas apa yang menyebabkan seseorang bisa mulai melakukan pencarian terhadap hidayah? Banyak hal yang melandasinya, seperti musibah yang tidak diduga-duga, kekosongan hati, peristiwa alam, atau ilmu pengetahuan.

Seseorang yang berpikir tentu akan berbeda dengan seseorang yang tidak berpikir. Seseorang yang mengambil pelajaran dari suatu peristiwa juga tentu berbeda dengan seseorang yang berlalu begitu saja. Seseorang berpikir karena merasakan ada sesuatu yang rasanya tidak pas di hatinya, tidak masuk di akalnya, tidak selaras dengan pikirannya. Maka ia mulai  berpikir tentang kebenaran yang mutlak, kebenaran yang hakiki dan sejati. Seperti syair seorang sufi yang sudah termahsyur, Jalaluddin Rumi:
“Biarlah akalmu melayang, menerawang segala realitas. Tentu pasti ia akan mendarat di altar kebenaran. Biarlah hatimu menyelam, mendalami segala kejadian. Niscaya ia akan berlabuh di dermaga kearifan.”

Orang-orang yang melakukan perjalananan, mencari dari satu tempat ke tempat lain, hinggap dari satu takdir ke takdir yang lain untuk menemukan kebenaran, maka ia pasti akan menemukannya. Meskipun perjalanan yang dilaluinya itu penuh ombak dan badai yang akan mengombang-ambingkan, yang akan membolak-balikkan hatinya. Hari ini bisa saja merasa yakin sepenuhnya, lantas esok menjadi ragu, lusa setengah ragu dan setengah yakin.

Namun tidak patut seseorang yang sudah memutuskan untuk berhijrah dan terbolak balik hatinya lantas bersedih. Sebab memang begitulah dinamika dari skenario Allah yang memberi ujian demi ujian sebagai tanda kasih sayangNya. Allah mencintai hamba-hambanya dengan cara memberikan ujian-ujian kepada hambaNya. Bisa berupa ujian yang nyaman (kesehatan, kekayaan, banyak teman, jabatan), atau bisa berupa ujian ketidaknyamanan (rasa lapar, takut, kehilangan). Apapun itu adalah untuk kebaikan untuk diri kita.

Seseorang yang lemah adalah seseorang yang tidak tahan terhadap ujian. Akan keluar dari mulutnya satu persatu mengenai keluhan, menyalahkan orang lain dan menyalahkan takdir Allah. Orang yang lemah akan lahir di hatinya kekecewaan, kemarahan yang dapat membinasakan pikiran dan jiwanya.
Sementara orang yang kuat adalah orang yang bersabar. Bersabar bukan pula hanya bersabar, melainkan bersabarlah yang banyak. Orang orang yang sabar bukan berarti tak ada penolakan terhadap takdir. Di hatinya bisa saja ada sedikit penolakan, namun ia memutuskan untuk tidak mengekspresikan penolakan itu ke luar dirinya. Orang bersabar adalah ia yang tidak mengeluh dan menyalahkan takdir Allah. Diibaratkan seperti seseorang yang sedang melihat duri, lantas sudah membayangkan bunga mawar.

Jika sudah bersabar yang banyak, maka akan lahir penerimaan. Sebuah sikap keridhaan atas apa yang telah Allah tetapkan terhadap garis garis kehidupan yang manusia jalani.  
Pena – pena penulis takdir telah diangkat dan lembaran-lembaran takdir telah kering.” potongan hadist Rasulullah dalam riwayat Tirmidzi dan Ahmad tersebut adalah tanda bahwa takdir Allah adalah sebaik-baik takdir.

Maka terimalah segala takdir yang telah Allah rancang sedemikian baiknya. Karena penerimaan terhadap takdir Alah akan menyuburkan rasa syukur, sehingga hari hari yang selama ini terasa kering akan menjadi sejuk dengan rasa keberuntungan akan kasih sayangNya. Beruntunglah orang orang yang dilahirkan dengan keyakinan yang sudah ditanamkan oleh ayah dan kakeknya. Beruntung pula orang – orang yang diberi keinginan untuk mencari dan mengenal hakikat dirinya.

Ketika kamu terlalu lelah mengejar dunia ini, sesekali tanyakan kepada hatimu, untuk apa aku diciptakan? Siapa yang menciptakanku? Apa tujuanku hidup di dunia ini? Bayangkanlah, setiap hari 360 sendi kita bergerak,  setiap hari paru paru kita menarik nafas sebanyak 23.000 kali. Pernahkah kita berpikir siapa yang tengah mengurus dan memelihara kita tanpa pernah luput sedetikpun? Dan di jalan yang bagaimana kita sedekahkan nikmat Allah yang banyak itu?

Mengenal diri bukan hanya sebatas lancar menulis biodata, nama lengkap, tanggal lahir, agama, alamat, dan lain-lain. Mengenal diri lebih dari itu semua. Belajarlah filosofi diri dan temukanlah dirimu yang sebenarnya. Sirami jiwamu dengan nutrisi agama, sinari pikiranmu dengan cahaya ilmu akhirat dan dunia, isi badaniahmu dengan berbagi kepada sesama. Berhijrahlah dengan sesabar sabarnya perasaan dan sekuat-kuatnya keyakinan. Barangsiapa yang mengenal dirinya, tentu pasti kenal juga akan Tuhannya.

Dunia tak lain hanya tempat kita menumpang sebentar. Bagaimana mungkin kita yang menumpang namun tidak mau mengikuti peraturan dari yang punya tumpangan? Bagaimana mungkin kita hidup di bumi Allah namun tidak mau mentaati peraturan Allah? Allah tak pernah kemana-mana, ia selalu ada di hati kita. Kita lah yang selama ini meninggalkannya. Wallahu ‘alam.. (anw)




24.8.15

KOTAK AMAL MASJID


Setiap hari selalu saja ada kabar buruk jika kita mau membuka lebar telinga kita, membuka langsung mata kita, memelototi besar-besar koran dan berita. Selalu ada yang nampak tidak sejalan dengan hati nurani. Namun kita kadang hanya berdecak, entah kesal, prihatin, atau merasa lelah, karena pusat berita hanya itu itu saja sebenarnya. Perihal keserakahan dan kerakusan manusia, kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab, ketuhanan yang tidak diesakan. Betapa menyakitkannya mengetahui bahwa kita masih saja jauh dari angan-angan kita. Dari dasar negara yang kita sering sebut sebut sewaktu sekolah dasar dulu. Dasar yang kita pun menyadari bahwa kita sebenarnya sudah mengalami kebutaan itu sejak lama, ketulian mengenai cara menggunakan pijakan yang baik dan benar.

Pengetahuan sebenarnya sudah merupakan aspek yang paling besar dalam hidup kita yang hampa. Mengaku Dan tahu bertuhan satu, tapi cemas jika jumlah nominal tabungan di bank mulai menipis. Berusaha sekeras kerasnya agar yang didapatkan bisa lebih banyak dari apa yang kita kerjakan. Bahkan yang lebih parahnya memikirkan bagaimana merebut apa yang di tangan orang untuk masuk ke dalam kantong sendiri.
Kita menjadi kikir dan terlalu cinta akan dunia. Mencari - cari nominal yang paling kecil untuk pengamen yang datang di saat kita sedang asyik makan. Namun tak ragu mengeluarkan yang paling besar untuk membelanjakan produk jam tangan bermerk yang sudah menjadi idaman.

Lalu dengan mudah kita menunjuk-nunjuk pencuri, maling, rampok, jambret dan lainnya sebagai orang yang jahat dan tidak beradab. Padahal boleh jadi ada dosa kita di dalam dosanya. Bisa jadi karena ketidak sadaran kita untuk mau memperhatikan kebutuhan kebutuhan orang orang yang tidak kita kenal. Bisa jadi kita terlalu kikir dan berusaha membela diri bahwa kita juga memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Karena dorongan untuk berbuat jahat selalu didasari visi tertentu, ada latar belakang yang membuat seseorang bisa mencuri. Dan pusat dorongan bisa diyakini berasal dari perutnya yang meminta diisi. Sempitnya lapangan pekerjaan, keluarga yang membutuhkan naungan bisa dengan mudah memaksa seseorang untuk melakukan apa apa yang tidak ia sukai sekalipun itu bertentangan dengan hati nuraninya.

Teringat beberapa hari yang lalu, masjid di dekat rumahku telah kehilangan kotak amalnya. Kebanyakan komentar warga adalah "Kok ya berani banget, apa ga takut kena batunya..". Begitu kira-kira, kenyataan ini cukup menyedihkan. Apakah ini dosa kita juga? Yang terlalu menguras otak ketika memutuskan untuk bersedekah, baik harta, ilmu, dan tenaga kita. Adakah orang orang terdekat kita yang masih berpikir besok bisa makan apa tidak, sementara kita masih dengan untungnya berpikir nanti akan makan di restoran mana.

Seseorang tidak akan mencuri ketika semua kebutuhannya telah tercukupi.  Terlepas dari keputusannya untuk memperhitungkan apa yang akan ia dapat setelah berhasil mencuri, ketenangankah atau kecarutmarutan batinnya. Tingkat kemiskinan harta, ilmu, perilaku seseorang kerapkali merefleksikan seberapa tinggi tingkat kekayaan harta, ilmu, dan perilaku orang orang sekitarnya. Kapitalis telah memenuhi seluruh rongga kehidupan kita. Kita menjadi begitu akurat soal pendapatan, namun begitu lalai soal pengeluaran dan kemana harta kita dikeluarkan. Seperti kita tahu bahwa harga harga semakin meninggi, namun kita semakin boros terhadap apa apa yang kita belanjakan. Hanya untuk menenangkan pikiran pikiran kita bahwa hidup kita tidak akan baik baik saja tanpa ini, tanpa itu. Kita menjadi orang yang sangat egois namun di saat yang bersamaan menjadi orang yang paling pintar menghakimi. (anw)


-2015-