Kedai Kopi Marini (1)

Kedai Kopi Marini

“Ayah, apakah ayah disana bahagia? Apakah angin disana masih sama seperti angin disini? Angin yang menghantarkan wangi bubuk-bubuk kopi? Yang setiap malam, jika aku mencium tanganmu wanginya masih akan terasa? Dan apakah disana ada bubuk-bubuk kopi yang bisa kau racik? Mungkin disana ayah akan terkenal dengan sebutan si peracik kopi paling hebat. Atau mungkin disana ayah akan bertemu dengan orang-orang yang dulu bahagia karena telah meminum kopi buatan ayah?“ Marini menangis tak habis-habisnya di kedai kopinya. Meratapi sesuatu yang hilang mendadak dari hidupnya. Di hadapannya sekarang, hanya ada berpuluh bungkus bubuk kopi, cream, susu, coklat, alat penggiling kopi, serta pemanas, yang teronggok tak berdaya.



Marini tak tahu apa yang harus dilakukannya, ia tidak sepeti ayahnya, ia tidak pintar meracik kopi, ia hanya seorang pemain pianika, kesehariannya hanya bermain pianika di kedai ayahnya dan di kafe-kafe lain. Marini lihai bermain pianika. Ia tahu seperti apa nada yang pas untuk setiap suasana hati. Pianika tidak seperti kopi, pikirnya. Pianika adalah sebuah perasaan yang tertuang ke dalam alunan tuts-tuts hitam dan puitih, perasaan yang tidak disengaja. Sedangkan kopi, membutuhkan setiap takaran yang pasti, komposisi yang seimbang, dan pengolahan yang penuh pertimbangan. Marini selalu limbung, jika dulu ayahnya menyuruhnya belajar untuk meracik kopi. Kopi racikan Marini selalu rasanya tidak pernah pas. Entah terlalu pahit, terlalu manis, terlalu pekat, terlalu cair, terlalu getir,serba terlalu..

Marini semata-mata hanya menjadi seorang fans kopi buatan ayahnya. Namun, saat ini segalanya telah berubah. Marini dipaksa menjadi seorang peracik kopi persis seperti ayahnya.

“Jadilah seseorang yang bisa membuat orang melupakan segala kesedihannya ketika meminum kopi.” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan ayahnya kepada Marini saat pagi hari ketika Marini berangkat pergi untuk bermain pianika. Marini tidak menyangka bahwa pagi itu adalah pagi terakhir bersama ayahnya. Ayah Marini terkena serangan jantung. Marini yang ketika itu sedang berada di sebuah pertunjukkan segera berlari ke kedai kopi saat mendengar bahwa ayahnya terkena serangan jantung ketika sedang meracik kopi. Kaget bukan kepalang ketika Marini mendengar kabar itu. Ayahnya meninggal di tempat, sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Saat itu, Kedai kopi menjadi tempat yang ramai bukan main. Orang-orang ramai berdatangan, sesudah itu beratus-ratus rangkaian bunga datang dari para penggemar kopi racikan ayah. Semua pengunjung menatap Marini dengan pandangan yang aneh dan menghujam. Marini tak mengerti apakah arti dibalik tatapan itu. Namun seminggu kemudian, kedai kopi menjadi tempat yang amat sepi. Orang-orang tidak lagi dapat menikmati kopi yang sama. Kopi penghilang lara dan duka ketika diminum. “Kopi buatan Marini adalah kopi yang bisa menambah kepahitan dalam hidup.” Gerutu seorang pengunjung yang datang beberapa hari setelah mencicipi kopi racikan Marini.

Marini tidak hanya seorang peracik kopi yang buruk, tapi Marini menjadi orang yang sangat amat membenci kopi, sekarang.
“Kopi hanya sepekat ampas-ampas kematian, kopi bukan lah penghilang derita, justru kopi adalah sebuah racikan kesengsaraan. Kopi yang telah merenggut nyawa ayah. Kopi lah tokoh utama dalam skenario kematian ayah. Tidak sepantasnya aku menjadi peracik kopi, karena kopi hanya akan menambah jumlah kematian seseorang.” Kata Marini malam itu.  Ia terpekur sendirian dan menjadi seorang yang amat sinis dengan kehidupan.



... ***