Kedai Kopi Marini (2)

“Maaf, ini pesangon kalian.” Kata Marini kepada tiga pegawai yang bekerja di kedai kopi, sembari membagikan 3 buah amplop coklat yang berisi uang.
“Apakah tidak ada jalan lain Mbak selain menutup kedai kopi ini?” Kata Angel, pelayan yang paling muda yang bekerja di kedai kopi Marini.
“Iya Marini, bapak pasti sedih disana kalau tahu kedai kopi ini ditutup.” Tio menimpali, Tio adalah pegawai yang usianya paling tua di Kedai Kopi Marini. Ketiga pegawai itu sudah cukup dekat dengan Marini, anak dari bosnya. Maka itu, mereka sudah tidak segan untuk memanggil Marini dengan nama, bukan dengan sebutan ‘Boss’ atau ‘Mbak’.
“Tidak ada jalan lain. Percuma kalau kedai kopi ini dibuka, kalian tetap tidak akan dapat penghasilan dari pekerjaan kalian. Kedai kopi ini tidak akan dapat maju seperti saat Ayah masih hidup. Kedai kopi ini hanya akan membusuk jika dibiarkan terus terbuka.” Jawab Marini sambil menahan tangis.
“Marini, almarhum pernah berpesan, jangan anggap kopi sebagai sebuah penghasilan, tapi anggaplah kopi sebagai teman.” Kali ini Reno mulai berkata. Reno adalah seorang pegawai yang rajin, jika datang paling pagi. Jika pulang paling malam. Pekerjaannya rapi, dan ramah kepada pelanggan. Sebenarnya Marini tak pernah tega memberhentikan mereka. Hanya saja Marini tidak tertarik lagi dengan kopi. Meracik kopi adalah sebuah pekerjaan sia-sia, pikirnya saat itu.
“Kopi bukan teman, Ren. Kopi adalah musuh yang seharusnya paling dimusuhi.” Marini tidak dapat lagi menahan tangisnya.
Ketiga pegawai kopi itu menenangkan Marini. Mengelus-ngelus punggung Marini, dan memberikan segelas air putih. Mereka tahu bahwa Marini masih sangat terpukul dengan kematian ayahnya. Bagaimana tidak, ayahnya adalah satu-satunya orang yang ia miliki. Ibu Marini sudah meninggal karena kecelakaan kereta ketika Marini duduk di sekolah Menengah Atas, Marini anak tunggal, tidak punya saudara.  Dengan kematian ayahnya, Marini tahu bahwa ia kini akan berjuang sendirian.
“Aku tidak apa-apa. Kalian pergilah. Terima kasih banyak atas apa yang kalian berikan untuk kedai kopi ini. Sungguh, aku tidak bisa membalasnya. Semoga kalian mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”
“Lalu, bagaimana dengan Mbak Marini?” Tanya Angel  khawatir.
“Tidak usah kalian pikirkan aku.” Kata Marini berusaha tegar dengan sisa-sisa kekuatannya. Dengan berat hati para pegawai meninggalkan kedai. Kecuali Rendi.
“Kenapa masih disini?” Tanya Marini. 
“Saya tidak akan pergi.” Jawab Rendi yakin. 
“Kenapa?” Marini mengerutkan alisnya.
“Saya akan membantumu untuk membangun kedai ini lagi.”Jawab Rendi dengan tatapan yang tajam. 
“Sudahlah, lebih baik kau pergi. Sebentar lagi aku akan mengunci kedai ini.”
Reno langsung berlari ke dapur. Marini bingung. Tidak lama kemudian Reno keluar dengan membawa kantung-kantung kopi. 
“Lihat, rasakan, dan cium aromanya. Kopi bukan hanya sekedar minuman. Kopi adalah sebuah perjalanan yang ada rasa manis dan pahit secara bersamaan. Inilah sesutau yang paling dicintai mendiang Bapak. Kamu pasti sangat mengetahui  itu bukan..?” Kata Reno sembari menyodor-nyodorkan biji kopi itu ke hadapan Marini.
“Itu dulu Ren. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Aku tidak mau melihat biji-biji kopi itu lagi!” Kata Marini sembari menepis kantung-kantung bubuk kopi itu hingga bubuk kopi itu berceceran di lantai.
“Bukan keadaan yang berbeda, tapi pikiranmu yang berbeda. Dari dulu sampai sekarang, kopi tetaplah kopi. Jangan lari dari kenyataan. Masih ada harapan untuk kedai kopi  ini!” Tegas Reno sambil membereskan biji-biji kopi yang berjatuhan di lantai lalu memerikannya lagi kepada Marini, namun Marini menolak, ia tidak mau memegang biji-biji kopi itu.
“Reno, kamu gak ngerti. Kopi sudah membuat ayah meninggal. Ayah kena serangan jantung karena terlalu banyak meminum kopi!”
“Saya tahu kamu sangat terpukul atas meninggalnya Bapak. Semua orang yang pernah merasakan kopi bapak juga sangat terpukul, termasuk saya. Tapi, itu semua adalah takdir dari Tuhan.”
“Karena itu aku gak mau mengulang takdir itu dengan masih membiarkan kedai ini berdiri.”
“Tapi berapa orang yang terobati kesedihannya dan kembali bahagia setelah meminum kopi? Berapa orang yang mendapat inspirasi setelah meminum kopi? Berapa orang yang telah menemukan rahasia kehidupan di dalam secangkir kopi?” Reno mengejar Marini dengan bertubi-tubi pertanyaan. Marini terdesak, dan terdiam. Air mata Marini mengalir lagi, mengalir sendiri, tanpa bisa ditahan.






                                ***