Kedai Kopi Marini (3)

Hujan masih terus turun sejak pagi tadi. Kaca-kaca kedai masih memburam. Dari luar kedai terlihat siluet dua orang yang berbincang di sebuah meja besar, saling berhadapan. Di hadapan mereka terdapat berpulu-puluh kantung bubuk kopi, serta segala macam pelengkap kopi. Bau hujan yang bercambur bau kopi.
“Aku tak bisa meracik kopi. Kau tahu itu kan?” Kata Marini gemetar. Marini hanya takut, takut bahwa kopilah yang sebenarnya jadi penyebab meninggalnya ayah. Dan Marini juga takut bahwa orang-orang tidak akan pernah bisa hilang kesedihannya saat meminum kopi racikannya.
“Aku juga tak bisa, bakatku hanya sebagai seorang pelayan yang sigap dan ramah. Tapi kau? aku tahu kau punya bakat.” Jawab Reno menyakinkan. Reno adalah seorang pegawai yang setia. Reno sangat mencintai kopi seperti ia mencintai dirinya, itulah alasan mengapa ia ‘kerasan’ bekerja di kedai kopi milik Ayah Marini, dan tak menyerah meski Marini hampir saja menyerah.
“Bakatku hanya bermain pianika. Itu saja.” Kata Marini singkat. Wajahnya masih sembab akibat semalaman ia menangis. Ayahnya dan kopi, yang membuatnya menjadi seperti ini.
“Hmm, apa yang kau pikirkan selama bermain pianika?” Tanya Reno lagi.
“Aku memikirkan jalan cerita dari sebuah lagu yang sedang kumainkan. Tapi Ren, Perkara pianika tidak sama dengan perkara meracik kopi.” Marini mulai gundah.
“Kau salah, Marini. Justru pianika dan kopi punya banyak persamaan.”
“Persamaan? Dimananya?” Tanya Marini heran sambil mengerutkan kening, kedua alisnya bertemu.
“Aku mau bertanya padamu.. Ada berapa macam warna dalam tuts pianika?”
“Dua, hitam dan putih. Semua orang tahu itu, Ren.”
“Kemudian.. Dalam secangkir kopi, ada berapa rasa?”
“Dua, pahit dan manis. Pahit di awal, kemudian akan berakhir dengan rasa manis. Hanya itu yang aku tahu selama jadi penggemar kopi.”
“Hmm. Anggap saja itu adalah persamaannya. Pianika dan kopi punya 2 jenis yang berbeda di dalamnya. Perlakukanlah kopi seperti kau bermain pianika.”
“Aku masih tidak mengerti.” Marini semakin tidak mengerti dengan kata-kata Reno. Tapi dari raut wajahnya muncul secercah titik terang untuk percaya pada sebuah keyakinan baru tentang suatu hal.
“Apakah nada yang kau mainkan akan terasa nyaman ketika kau lebih banyak menekan tuts yang berwarna hitam?”
“Tidak. aku menekan tuts hitam dan putih bergantian, juga terkadang secara bersamaan.”
“Baiklah, meracik kopi adalah sesuatu yang penuh intuisi, dan penuh pengalaman. Setidaknya itu yang dikatakan oleh mendiang ayahmu.”
“Lalu?”
“Perlakukanlah kopi seperti kau perlakukan pianikamu. Tidak usah kau khawatir bahwa kopimu akan terlalu pahit atau terlalu manis. Namun nikmati saja setiap takaran yang kau tuang, lebih banyaklah kau gunakan perasaan, dan sedikitlah kau gunakan akal. Agar tercipta rasa yang sedang kau rasakan. Agar secangkir kopi mempunyai banyak pengalaman.” Reno menjelaskan dengan lancar sembari memainkan takaran-takaran kopi. Mungkin Reno sendiri tidak begitu mengerti apa yang sedang dikatakannya, namun Reno menginginkan Marini untuk tidak menyerah begitu saja. Reno menyakini bahwa suatu saat kedai kopi itu akan menjadi kedai kopi penghilang segala lara dan pembuat bahagia.

Marini hanya terdiam mendengar kata-kata Reno barusan, seperti disadarkan oleh kesadaran yang tak pernah ia sadari. Reno tersenyum dan beranjak meninggalkan Marini.
“Kau.. mau kemana?” Tanya Marini gugup.
“Hei, lihatlah biji-biji kopi itu. Mereka meminta untuk segera kau sentuh! Aku pergi dulu, ada urusan sebentar.” Kata Reno sambil menunjuk biji-biji kopi yang tergeletak di atas meja.
“Tapi, di luar masih hujan.”
“Aku membawa payung.”
“Payung tidak menghilangkan kemungkinan bahwa kau tidak akan basah saat berjalan di tengah hujan.”
“Ada apa? Apa kau mau aku tidak pergi?” Tanya Reno.
“Tidak, aku hanya bilang bahwa di luar masih hujan.” Jawab Marini singkat. Namun Reno tetap berlalu pergi meninggalkan Marini sendirian di kedainya. 




...***