Masihkah kau ingat perjalanan ini, Bu?


/1/
Ibu, dimanakah rahimmu harus kukunjungi?
Cukup lama aku termenung disini, menatap lumbung bumi yang telah kremasi
Aku ingin pergi saja bersama segumpal tanah dan mani
Hingga dijadikannya aku sebentuk daging dan tulang-belulang yang bisa bicara
Yang telah diputuskan “Jadilah, maka jadilah!”
Tahukah bu, ribuan sperma ayahku malam itu adalah musuh terbesarku malam itu

/2/
Besok antar aku ke jalan delima ya, Bu
Kudengar disana banyak toko yang menjual daster lucu
Akan kubelikan kau dua atau beberapa
Untukku dan untukmu yang telah gempita menjadikannya aku

/3/
Terlalu rakuskah aku yang menghisapmu dari dua penjuru?
Cairan kental berupa zat anti bodi dan mantra candra guna
Menjelmakan pipiku yang semok dan hidungku yang bengkok
Kata orang pipiku mirip ayah, dan hidungku mirip hidungmu
Kau hanya senyumsenyum saja sambil meraba hidungmu
Kemudian meraba hidungku


/4/
Semua orang kecuali ibu melarangku berjalan dan berkata “Awas jatuh!”
Esoknya aku bisa berjalan tanpa takut terjatuh (lagi)

/5/
Ayah marah-marah karena di meja tak ada makanan
Ibu beralasan uang bulanan telah habis dimakan lapar dan waktu
ayah pergi keluar, ibu diam saja
Tak sengaja, kulihat di saku ibu ada sebuah amplop bertuliskan “sepatu untuk anakku.”
Aku jadi ingat, lusa adalah hari pertama aku masuk sekolah

/6/
“Kenapa sejak tadi kau memandangi anak perempuan itu?” Tanya ibu sambil menunjuk perempuan berkepang dua di depanku.
Aku menunduk malu
“Kau jatuh cinta ya?”
“Mungkin.” Jawabku sipu
“Wah berarti perempuan itu cinta pertamamu.”
“Bukan, ia yang kedua.”
“Loh, siapa yang pertama?”
“Ibu..”

/7/
Hari ini sekolahku telah habis
Aku harus bilang apalagi pada ibu?
Terima kasih sudah, bilang cinta sudah
Mungkin besok aku akan bilang
“Aku tidak mau kehilangan ibu”
Ah itu pun sudah.

/8/
Hari ini hari ketika harus kubayarkan semuanya
Bersambutan dengan para bos dan layar computer
Ketika kubuka tas kerja
Terselip sekolak biji  salak, dan secarik kertas coklat
“Selamat kerja dan jangan lupa makan ini ketika perutmu kosong.”
Dari ibumu yang hampir ompong

/9/
Besok aku menikah
Dengan perempuan yang dengan penuh keringat kucari yang mirip ibu
Meski aku tahu bahwa ibu hanya ada satu di dunia
Tapi perempuan ini, mirip sekali denganmu, Bu

/10/
Lihat anakku, Bu. Hidungnya mirip dengan neneknya
Sama sama bengkok.

/11/
“Ayah, kenapa setiap hari kita ke rumah nenek?”
Tanya anakku sewaktu di motor menuju ke rumah kenangan itu.
“Karena setiap hari ayah rindu nenek, rindu sekali.”
“Tapi apakah nenek tidak bosan?”
“Nenek tidak pernah bosan, karena cinta yang sejati tidak pernah bosan pada dirinya sendiri.” Jawabku.
Anakku tersenyum lalu manggut-manggut.
Dari kaca spion, kulihat ibu yang sedang menjahitkan ketiak seragam sekolahku yang bolong dulu.
Keringatnya menetes di keningku.





Jakarta, Juni 2011