Empat Cangkir Kopi

Cangkir pertama:
Terang, terombang-ambing ampas satin, terhirup selinting kafein
Kurangkum gelegar rasa yang terporak pada lelehan keping semesta
Pergi ku ke rimba dua arah, kupilih wajahmu jadi darah
Kutelisir alirannya pada arteri, denyutan sendi-sendi biru bilik kiri


Cangkir kedua:
Kuhinggapi kelopakmu di penjulur jalan
Kutambah latte jadi madu. Hingga terlalu manis, kubuang ke empedu
Kulempar dadu ketika tidur sesendok matahari, yang membekas lebam di pelipis kiri


Cangkir ketiga:
Aku mengenalmu berbeda, dalam ramuan sebuah perempuan
Kau kemasi langit di cangkirmu, lalu menyedu dengan rasa baru
Tapi tabu kupukul waktu di punggungmu
Hingga diam detikdetik, kutelan pelikpelik


Cangkir keempat:
Aku taruh diatas meja kayu, yang bertaplak sumbu
Membasah retina pada suhu dua puluh dua
Biar debur segala anakanak lara
Biar melesak udara kering pada paru, hingga hitamhitamnya mendesir kelu


Sejarah empat cangkir kopi
Untuk kau yang diburu waktu
Kusudahi, kupamit pada kelelawar senja di pinggiran batu


Empat cangkir kopi, kutenggak
Masih lebih mending ketimbang setetes arak
Hitamhitamnya mengerat gusi-gusi, getir


Kulesakkan sepuluh kantung gula
Agar terasa reda
Agar petir tidak lagi mampir
Agar keruh semacam bulir..



Oktober 2010