Gorden Jendela itu Tak Pernah Tertutup Lagi


(i)
Ada seorang tua
Konon ia perempuan penunggu
Yang terkenal di desanya
Yang tersohor karena setia

Seorang tetangga sewaktu menjenguknya
Bertanya pada desah bola matanya
 “Apa yang kau tunggu di balik gorden jendela yang tak
                pernah tertutup lagi?”

Sepasang mata itu tersenyum
Ingatannya pergi mengulur sulur-sulur rambut
putihnya,
menenun hingga terbentuk bagai kepangan gadis penjual kue
di depan sekolah dasar

sebetulnya, tidak satu pun
peristiwa ia pernah lupa
perempuan itu tajam dalam segala
termasuk,
jumlah lipatan gorden yang ia pelihara
debunya dari pagi sampai malam
sampai pagi lagi

(ii)
Semenjak,
setengah abad yang lalu
lelaki cerutu itu
pergi  membawa sepenggalan hatinya
yang sempit dan sempat
diisi
beberapa kata “Kalau kau masih bersendiri, kelak akan kulamar”


Nafasnya kacaunya lagi
Tersiur hancur
Membingungkan angin yang
Kebetulan lewat di batas antara
Mata dan kaca mata tebalnya

Kaca mata tebalnya itu,
Ia bercerita
Bahwa ia sendiri yang membuatnya
Dari tabungan air mata
Sepanjang hari, bulan, dan windu

Matanya mengucur, seperti kran yang lepas klep-nya
Meluber,
Menumpahkan kerut kelopak
ke dalam bening gelas bening di pangkuannya
Seringkali air minumnya
terasa asin, selalu asin..

(iii)
Pun sejauh pandanganmu, tak ada yang tergesa melepas sandalnya
Memasuki rumah tua yang jika diinjak
lantainya akan berderit
Memilu hati
Memilu burung-burung parkit yang hobi
Bertengger pada paras ranting di beranda-beranda kecewa

Sejauh mata menelusur
Bayangannya jatuh ditimpa oleh tulang-tulang ngilu
bermalu—melulu

Ajal pun menyerah
Nyawanya tak kurang dari setengah
di hadapan jendela yang gordennya tak pernah ditutup lagi

Makan, minum, kencing
Ia babat dengan tatapannya yang lumat menatap

Bahkan sedetik ia tak rela
Pandangnya luput
dari selorong jalan setapak yang batu-batunya habis
mengerus
dan mengurus
penglihatan usia



Jakarta, 2011