Asal Usul Tawa


 “Kiranya aku benar mengapa hanya manusia satu-satunya makhluk yang tertawa; dia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa”
(Friedrich Nietzsche, 1844-1900)

Bukankah itu semacam suatu sindiran, bahwa siapa yang tertawa paling keras, ia yang paling menderita. Namun ada pula, orang yang deritanya paling perih pun paling sedikit tertawa, paling jarang mengambil sisi positif yang terselip diantara ribuan lukanya, atau menemukan setidaknya secuil kebaikan di sekitar nasib buruknya. Ya, tawa adalah semacam bentuk ekspresi memaafkan nasib, menerima segala kekecewaan dan mulai untuk tidak mempertanyakan apapun. Dalam istilah yang sering terdengar adalah; bersyukur. Begini, saya akan mulai bercerita, tentang seorang pemuda yang biasa saja, ia hanya punya sendal jepit untuk dipakainya kesana kemari, sampai ia menemukan bagian bawah sandalnya telah lusuh, alus dimakan aspal dan kerikil yang ia pijak begitu lama, ia kemudian mengeluh, dan kita menganggap ia mungkin orang yang menderita, dan ia harus punya sepatu namun tak punya cukup uang untuk membeli sekadar sepatu yang sederhana sekalipun. Ia berjalan di sepanjang taman, menangis dan kakiknya mulai luka. Di sepanjang jalan, ia melihat puluhan orang memakai sepatu, beberapa wanita tertawa dengan sepatu hak tingginya, lalu segumul pria kantoran berjalan cepat dengan sepatu kulit yang mengkilap, bahkan ia lihat seorang pengemis di dekat jembatan memkai sandal yang mungkin lebih baik dari sandalnya. Berlarilah ia ke toko sepatu di ujung jalan. Dari luar kaca ia melihat begitu banyak sepatu berjejer dengan apiknya, ia hanya berani melihat dari luar, tak sedikitpun berani untuk melangkah masuk ke dalam. Kemudian keluarlah seseorang dari dalam toko, seorang lelaki setengah baya keluar melongokkan wajahnya sambil tersenyum kemudian berkata “Mau sepatu yang seperti apa, Nak?” Pemuda itu gugup karena ketahuan memandangi toko. Lalu bertambah kegugupannya ketika mendapati pemilik toko itu memakai tongkat dan celana bahannya terkatung-katung tanpa isi, pemilik toko itu tak punya kaki. Tak punya, sama sekali. Tak terbayangkan kalau kita mau mengeluh, bagaimana hancurnya perasaan seorang pemilik toko sepatu, pemilik ratusan sepatu yang bahkan tak punya sama sekali kaki.
Saya rasa, seringkali ini sungguh bukan kemauan manusia. Tapi mungkin ini bukan juga bicara soal agama atau prinsip. Atau sampai saat ini masih ada ketentuan Qada dan Qadar. Yaitu nasib dan takdir. Betapa pemilik toko yang tak punya kaki adalah sebuah takdir, tak ada satupun yang dapat mengubahnya namun semua itu dapat digantikan dengan sudut pandang yang indah, yang menyakini bahwa ini adalah keputusan terbaik. Kemudian perihal seseorang yang tak punya sepatu adalah sebuah nasib yang bisa ia ubah, tentunya harus dimulai dengan rasa syukur, karena segala usaha yang tidak dibersamakan dengan rasa syukur sungguh suatu petaka yang fatal akibatnya, betapa keangkuhan akan sangat sekali mudah masuk ke dalam jiwa yang tidak bersyukur. Dan kerendahhatian akan sangat jarang ditemukan. Dan bersyukur saat ini masih lebih mudah diucapkan ketimbang dihayati dengan keyakinan yang hakiki.

Syukur dalam pengertian bahasa adalah rasa terimakasih kepada Tuhan, berasal dari kata terima dan kasih. Terima artinya kita membuka segalanya dengan perasaan yang baik, dan kasih adalah suatu pemberian dari Tuhan dengan bentuk yang berbagai macam rupanya, tidak melulu jelek dan juga tidak selalu bagus. Dengan perasaan berterimakasih seseorang akan mudah dimasuki energi positif, semangat, kemudian akan sendirinya muncul sebagai pribadi yang rendah hati, dan kebahagiaan akan muncul tanpa disadari.

Maka benarlah kata Nietzsche, “Kiranya aku benar mengapa hanya manusia satu-satunya makhluk yang tertawa; dia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa”.
Manusia mencari berbagai macam cara untuk menyembuhkan deritanya, salah satunya yaitu dengan tawa. Dengan tawa, derita akan musnah dengan sendirinya.


(2011)