Nah, Nietzsche


Ia sentuh ubun-ubun engkau dengan kecup embun, menuntun aku tentang tabiat Kasih dan Kasihan. Ia belum mati, Ia belum mati. Puan Kasih! Kasihkan!
Bahkan bila ia berkenan, aku mohon nabi perempuan: Ia utus kau padaku, satu-satunya pembenarmu.
Kekal cium pada engkau, Puan, di punggung lengan.
-Hasan Aspahani-


 

Harusnya kau bisa hidup lebih lama,
Untuk sekadar mengobati luka
Dan mungkin setelah itu
Kau akan mendapati seekor bulan yang
Mampu memberimu keterangan
Tentang semesta
Yang tidak tunggal dengan sendirinya
Namun segala yang berada mempunyai
Asal-usul. Mempunyai ‘ada’ yang kau namai dengan gamang
Sebagai sebuah ketiadaan yang kekal

Sewaktu kau belum tua, atau wajahmu
Masih segar dan kemerahan
Kau pernah hampir menyelamatkan dirimu dan
Mengurungkan diri untuk berbelasungkawa
Atas ketiadaan itu:
Ingin kukenali Kau, wahai Yang Tak Dikenal,
Yang cengkerami pusat jiwaku, yang lintasi hidupku bagai badai,..” (Nietzsche, 1864)

Di dasar jiwamu, percikan atas ke’ada’an yang menjadikanmu ‘ada’
Telah tumbuh namun tak sempat kau suburkan
Atau kau sirami dengan lembut
Yang mengalir di sepanjang sum-sum

Namun apakah kesepian itu, lalu pesimis kau pikir
Tidak ada yang bisa memperbaiki segala ini
Dan semua isi telah rusak sebagaimana mestinya

Masih kau rasakan jerat-jerat itu memerosokkanmu
Dan berbagai ucap lain kau tolak dengan keberdayaan itu
Ada yang kau lupa, barangkali
Bagaimana kebaikan bisa muncul kapan saja
Dan hal-hal itu
Termasuk bulan-bulan purnama itu
Yang pernah menampikmu
Bukankah mereka menyesal jika mendapatimu
Telah lebih sehat dari biasanya
Dan kau tidak perlu berusaha mati , seperti yang kau ucap pada suatu masa:
Saya putus asa, tak tahu cara untuk meneruskan hidup seperti ini.
Nanti malam saya akan minum opium, supaya hilang akal saya..” (Nietzsche, 1882)

Namun aku sangat percaya pada nyala matamu,
Yang bahkan belum pernah kutemui
Kau-lah keagungan yang tulus mencari Tuhan
Namun tak sempat menemukanNya
Dan takdir sepenuhnya kau cintai
Dengan kesendirian-kesendirian seperti dalam puisimu:
Kesendirian ketujuh!
Tak pernah kurasa
Sedekat ini manis kepastian
Sehangat ini tatap mentari:
-bukankah es di puncakku masih membara?
Keperakan, ringan, bagai ikan
Perahuku kini bertolak..” (Nietzsche, Amor fati)

Aku sungguh mencintaimu sebagai cinta yang mandiri
Sekaligus kasihan sebagai kau yang tak pernah mengenal Kasih.



(2011)