Hujan di Bendungan Hilir

sudah reda, namun kau tetap membawa hujan kemana-mana di dalam sakumu, menyimpannya, memberi nama, agar suatu hari, entah esok atau lusa kau bisa melahirkannya, melahirkan hujan di matamu yang kecoklatan, dan menamatkan seonggok buku-buku pelajaran yang melesakkan aritmatika dan beribu logaritma.

namun, si pemain ski itu tetap meluncur pada lehermu yang dingin, merampungkan salju yang meneteskan setiap katanya pada hujan yang akan muncul tahun depan. dan kau tak perlu terlalu khawatir sebab kau diam-diam punya cadangan air mata yang tanpa sepengetahuan kurcaci-kurcaci itu kau akan pergi ke kamar mandi  lalu menukarnya dnegan segala yang berbentuk cair.

di depan cermin itu, sebuah bayangan yang sangat kau kenal telah kuyup bahkan sangat lembab, kau butuh sesuatu untuk mengeringkan jemarimu yang telah dilumuti bedak tabur wangi melati atau kesturi barangkali

lalu tibalah, si pemain ski memainkan sepatu hujannya ke atas salju yang menguning seperti rambutmu yang lapuk karena dipatoki udara. ia, si pemain ski itu berteriak-teriak di sepanjang lorong dengan matanya yang buta. sementara hujan hanya mampu berbisik di kediamannya, di luar kulit rumah yang mengkilap keemasan. lalu dengan sedikit menangis kau meminta hujan agar jangan datang besok pagi.


2011