Penyair di Java House

barangkali kita memang butuh kejenuhan
untuk sesekali kita ciumi aromanya di sebaris kopi atau secangkir puisi 
atau kita bisa bergegas ke Java House, kudengar
disana banyak penyair berbau nyinyir,
menamai kejenuhannya dengan mengadopsi kosakata
dari alam semesta atau luar angkasa

mereka, mereka itu tahu benar cara menyirap kata menjadi
kekasihnya. seperti muslihat, penyair dan kata berpelukan tanpa lengan
berdekapan bagai angan.
bercampur dengan sepaket airmata, rasa sesal, atau segala riuh rendah
perih. mereka, mereka itu, si penyair yang memakai kata sebagai
paru-paru, agar bebas dari tahanan hidup kemudian bertahan hidup.

"Aku tidak bisa mati tanpamu, maka hiduplah bersamaku." Lirih si penyair suatu ketika 
kepada kata. katakata bertekuk lutut. namun, sebuah tanda baca atau
semacam tanda tanya melarang hubungan mereka, dengan sebuah duga
bahwa puisi tidak akan melahirkan apa-apa selain duka.
namun, selalu ada sebuah ingin dalam seputar labirin. 
mereka, kata dan penyair kawin lari
waktu, angin, dan ragu menikahkan mereka dengan seucap "sah"
tak perlu menunggu sembilan bulan sepuluh hari
maka lahirlah sebuah puisi, tanpa basabasi


2011