Bus yang tak kunjung datang
Cuaca yang tanpa ampun
memukul-mukul jalan dengan gerang
Sementara keletihan
Tak dapat diukur lagi
Seberapa tinggi kadarnya
Barangkali tayangan televisi di halte
Bisa sedikit menghibur
Dengan iklaniklan yang menjual
senyum manis para selebritis
Atau juga sebotol cola
Bisa juga menjadi penawar luka
Bahwa tempat ini adalah tempat
Menunggu yang tiada
Jam rasanya berhenti, dan waktu
Berjalan semakin mundur
Aku tak dapat bedakan lagi
Kemana tujuan yang ingin kudaki:
Keberangkatan atau kepulangan yang telah
Lama menjadi kenangan
-- yang teronggok di
Bawahbawah kursi halte atau terkepit
Diantara ketiak penjaga yang berwajah
Seperti dewa tanpa silsilah
Namun, nyatanya
Kepulangan adalah hal yang yang tabu
Kutemukan banyak wajahku tertempel
Di tembok-tembok, di tiangtiang listrik
Yang telah mengarat dilahap waktu
Di mulut gang, tetanggaku
Seraya gembira menyambutku
Seperti menunggu kelahiran bayi perempuan
Atau menanti turunnya
Malaikat kesebelas dari sorga
Di beranda rumah,
Ibuku berdiri sempoyongan
Kulihat ubannya bertambah
Dan kulitnya menipis
Dengan lunglai dan mulut yang gugup
Ia bertanya lirih “Kau kemana saja setahun ini?”
Kucium tangannya dan menjawab
“Aku tak kemana-mana,
hanya menunggu bus dalam halte.”
Kutengok jam di tangan; jarumnya patah,
Dan angkanya hilang entah kemana
Jakarta, 2012