setelah lama tak membuat puisi
setelah seratus dua puluh menit yang kita jalani
tanpa pernah berkata apa-apa--
tersesatlah kita pada labirin waktu
pada luka malam dan juga pada hal-hal yang tak selesai
pada luka malam dan juga pada hal-hal yang tak selesai
kita menghimpun beribu peristiwa
untuk ditertawakan
meski ada yang terlanjur merana
untuk dimaklumi
bahwa ini akan terasa lama, sangat lama
kita duduk-duduk memakan waktu
meminum hujan dan menghirup aromanya yang aneh
menghabiskan tawa sampai
akhirnya menangis seolah
tak punya mata--hanya punya airmata
tak punya mata--hanya punya airmata
kita cuma batangbatang korek api.
sekali menyala sudah itu mati. (Austi Bhakta)
tapi di tempat ini,
setelah matraman, dukuh atas,
dan pemberhentian-pemberhentian berikutnya
--ikut juga mengekalkan kita pada
kegalauan yang tak putus-putusnya
kita menghapal mantra untuk sesekali
mengurangi putus asa
tapi kataku; mungkin hidup
tapi kataku; mungkin hidup
sesekali butuh putus asa juga
lalu katamu; jangan menyerah begitu saja!
kemudian sampailah kita pada kesimpulan
yang tak kalah parahnya; hidup memang mencemaskan
kemudian sampailah kita pada kesimpulan
yang tak kalah parahnya; hidup memang mencemaskan
--hingga pada akhirnya
kita seperti batang-batang korek api yang mati sendiri
tak ada yang putus asa
dan tak ada yang bertahan juga
segalanya diam di tempat ini
segalanya diam di tempat ini
setiap hari, kita seperti berputar
di tempat yang sama
menertawakan kepedihan yang sama pula
2012