Jembatan Benhil


Barangkali malam ini langit terbuat dari lemari es
Yang jika angin bertiup sedikit saja bisa memecahkan dada.

Pada sebuah jembatan, banyak luka yang belum disembuhkan,
Anak jalanan, pengemis tanpa kaki, pemain saksofon
Yang membawakan sonet nestapa dengan irama menyakitkan.
Meski tak ingin lagi kubicarakan tentang kesedihan
Namun  siapa yang sanggup menahan nyeri otot hati
Jika tahu bahwa seorang bayi yang belum genap
Satu bulan sudah belajar menanggung
Dingin dan debu yang panjang?

Pedagangpedagang menjajakan hidupnya atas nama
Melawan nasib. Digelarnya kacamata,
Obat kulit, perhiasan palsu, di atas jembatan yang macet
Karena setengah terisi, setengah pedestrian.

—Semacam ironi bukan?—

Barangkali sepulangnya ke rumah,
Akan kucium tangan ibuku dan kuusap wajahnya yang rumit
lalu berkata: terimakasih sebab memperlakukanku
Dengan amat baik, lalu aku masih begini, masih seperti ini.
Sementara yang susah, besok akan tetap susah.
Dan yang bersenang-senang akan semakin girang.

Malam yang cemas menjadi tekateki yang nyaris penuh terisi
Dengan gedung sebagai pelengkap kotakkotak yang berontak.
Aku semakin terasing dan sendiri, pada pikiranpikiran
Yang tak sanggup kuterjemahkan. Lebamnya cuaca dan
Sesaknya perjalanan begitu lengkap namun berlawanan.

Apa yang membuat kita alpa pada derita yang bukan
Milik kita? Ada yang menangis tak berhenti, ada juga
yang takut tercuri karena tak siap berbagi.

Kenapa?
Sebab apa?

Semakin aku sibuk bertanya,
Jawabannya semakin tak ada.


2012