Setiap malam, selalu
kulewati
Berbagai macam mimpi
buruk,
Semacam adegan tembak
menembak dalam
film action atau prosesi sakratul
maut bahkan pernah
Melipat-lipat alam bawah
sadarku
Dan membuangnya ke jurang
Dengan kedalaman yang
Tak berani kuhitung.
Aku merasa ini tukak
lambung yang sudah
Dimakan usia, namun aku
tak pernah ingat
merayakannya
ulangtahunnya.
Tanggal-tanggal pecah di
kepalaku.
Aku lupa hari. Aku kacau
pada ruang, pada waktu.
Lalu kata ibu, kunyit
adalah jalan keluar
Bagi lambung yang lebam.
Saat matahari lengser,
dan
Bulan tengah pucat.
Ibu memarut kunyit dengan
tubuhnya
Yang perlahan menguning,
parutannya
Dicampur dengan airmata
hujan.
Aku meminumnya seperti
aku
Meminum kesedihan dan
Dadaku sebentar-sebentar
gerimis.
Mataku tergenang dan
lambungku kekuningan.
Sekadar ini pun tak
cukup,
Berbagai generik dan obat
sirup telah jadi
Temanbaikku, bahkan
saudara sepenanggungan.
Ini parodi yang
dipertontonkan Tuhan.
Aku jadi malu pada
kemerdekaanku.
Ibu berkata lagi—tak apa
Nak, ini cuma
Soal waktu dan rasa sakit.
Ibu, apakah yang lebih
merdeka dari waktu?
Adakah yang lebih tidak
merdeka dari rasa sakit?
(menjelang akhir tahun)