Dongeng yang tak ada


Kita pernah menanam mimpi perihal bangsa yang luhur dalam beton-beton dan kota yang terbelah. Seseorang memberikan dongeng di atas panggung, penonton tak tidur. Pendongeng itu mengajari kita untuk bermimpi tanpa tidur. Salad dalam mangkuk, stroberi yang pecah dalam timbunan es batu dan pelayan yang mengucapkan “silakan dan terimakasih” secara berulang tanpa pernah bosan. Sebab waktu adalah jembatan untuk menyebrang dari sebuah klise ke dalam klise yang lain. Pengabdian adalah klise yang tak akan luntur, klise yang selalu berarti.

Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Suara Widya membuat pendengarnya jatuh cinta meski jauh di ulu hati lirik itu terasa sakit. Sebab seorang ibu yang tak mampu lagi melindungi, ibu yang terlunta dalam rintihan.

Bagaimana reformasi akan menebus yang telah hilang? Tapi seorang perempuan berdendang, dari senar-senar pendeknya ia petikkan parodi, lantas tenda-tenda bergetar, tawa pecah pada diri yang tadi seolah-olah tak ada. Dengan atau tanpa metafora ia  senandungkan pagi yang elok, kicau burung, kluruk ayam, petani-petani yang tak punya airmata.

Pantaskah kita kenang miliaran barel batu bara yang sia-sia? Hujan peluru, air bah, barangkali Nuh telah menangis sebab kita bukan orang asing yang menyapa apakah visi kita berbeda?

Hari itu sudah gelap dan pendongeng itu kembali basah dalam hujan di matanya. Kita tahu, telah jadi sebuah gejala dan Musa akan bangun untuk memukul tongkatnya, lantas kita baca apa yang telah sirna dan terbelah itu. Kau mungkin akan berkata disini tak ada lagi Columbus yang menjatuhkan airmata hingga jadi peta Sumatera atau Samudera Hindia, disini adalah ladang yang akan habis buahnya, dan kita akan kembali sia-sia pada yang tak ada.

2013