Setelah
demam, beberapa pukulan
dan api yang
membakar kedua belah tangannya,
Perempuan
itu berpikir tentang kemerdekaan
Dalam bentuk
yang lain
Ia
ingat-ingat bagaimana Jaya dan muara Ancol
Selalu
berhasil meredam pedihnya
:Maria, maria
Kenapa kita tak boleh bahagia?
Lalu pada
lengah yang lain,
Ia lari ke
utara, melupakan
Tapak-tapaknya
dengan perih dan luka yang biasa
Namun jauh
panggang dari api
Harapan
tinggal sisa bara, hitamnya
Tercoreng di
wajah sendiri
Perampok
madat yang tak bisa mati itu
Selalu berhasil
membuat perayaan yang menyakitkan
Tanah
kelahiran takkan pernah ada,
“Bali, aku
ingin ke Bali
Bertemu
saudaraku yang tinggal seadanya..”
Airmata
panas, pepohonan meranggas di dadanya
Perempuan
itu membesarkan perasaannya sendiri
Tiba-tiba
Neptum seperti nasib yang serupa di garis tangannya
:kenapa manusia semacam kita selalu tak punya
pilihan, Roseta?
Kemerdekaan
memilih takdirnya sendiri
Neptum
menemui naasnya,
“Siman,
budak macam dia jangan terlepas,
Jangan
sekalipun!”
Lelaki itu menagis,
menggumamkan pemberontakan
Dalam hening
yang amat panjang
Kemerdekaan, kemerdekaan.. kenapa aku tak
Dibiarkan saja mati?
Ada rencana
yang amat besar telah berakar
Setan
hinggap dimatanya
Esok malam,
ketika bulan memanjang,
ketika
dokter Kramer pergi,
Ketika rumah
sepi
Seorang
gadis diculiknya dan hendak dijadikan istri
Tidakkah kau ingat Roseta juga seorang
perempuan?
Jaya, kenapa harus rakus pada kehidupan
Kenapa harus, seorang lelaki lebih mencintai
kecantikan
Daripada kesetiaan hidup..
Lalu pada perang
yang tak mampu diterka
Bedil dan
tapal kuda telah melarikan tubuhnya ke arah empat penjuru
Kulitnya pecah,
bandit-bandit musnah
O, Batavia yang tentram..
Kuterima kemerdekaanku
2013