Matahari melahirkan pagi
Langit berganti kulit
Udara menyusun percakapan dari embun dan mimpi
Api dalam bara,
Juga kompor dalam cinta yang sederhana
Maka kuracikkan padamu
Kabut yang demam menyebutkan penantian
Dari bijibiji kopi juga rebusan
Kelopak bunga kenanga
Yang jatuh pada rumput yang hijaunya
Tak kalah dengan milik tetangga
Tak perlulah kau masuki tidurku,
Cukup kau ukir namaku pada gading dadamu,
Lalu bercakaplah
Pada kenangan yang tak terbaca
Maka ranumlah
Pada musim panen yang tertanam dalam
Kotakkotak surat juga tembang purba
Yang dilagukan paduan suara di bukit Kurukhsetra
Kepada Bisma, kualamatkan seluruh anak-anak panahku
Kuhunuskan tepat di palung jantungmu
Maka tak usah kau gumamkan lagi keluhkesah
Sebab akulah angin yang selalu ingin berkabung
Barangkali kau telah jadi hantu yang bergentayang
Dalam kamar
tidurku
Memasuki jelaga mimpi
Menggoyahkan iman-iman
Yang tercantol di belakang pintu
Telah kumakamkan derita dalam sumur tanpa dasar
Namun mengapa kau masih mengigaukan
Muara yang sama?
Padahal, di tepi sungai Yamuna
Kau cuci selendangmu
Menghanyutkannya pada arus batu
Dan kabutkabut merah hutan itu
Barangkali kau adalah hantu yang bergentanyang di
ruang tamu
Bukan disitu mengadu
Tapi disini tempatmu
Membereskan cemas dalam bingkai debu, bingkai batu
Lalu menyimpannya pada beludru di rusukmu.
2013