Di
bawah langit yang bertabur bintang ini, aku tak lagi ingin dihibur oleh apapun.
Derit jangkrik, piuh angin, gesekan daundaun, dan takbir yang bergema dari
pengeras suara masjid cukup mampu menggantikan komposisi musik yang paling
mengagumkan sekalipun. Segalanya mampu menciptakan sebuah suasana yang tak
kalah dari megah kota. Tempat ini, membangunkanku dari tidur panjang, tidur
yang sangat panjang. Aku ingin yang pernah redup kembali menyala dan yang
terasa lelah kembali bergairah. Malam ini aku ingin terjaga di dadaMu,
menyerahkan yang tak pernah kupunya dan melepaskan mimpimimpi liar yang
terdekap dalam kerangkeng hawa nafsu. Aku melamun sembari lirih mengumamkan
takbir.
Aku
ingin mencari apa yang belum juga kutemukan, dalam tanda-tanda yang Allah
ciptakan, angin, matahari, manusia, batu. Sejak Jibril turun ke Gua Hira,
mewahyukan kepada rasul sebuah ayat pertama: Iqra! Bacalah.. Maka tugas pertama
manusia adalah membaca, secara implisit adalah membaca tanda dan jejak
kekuasaan Allah. Membaca seperti Rasul, mencari seperti Ibrahim, bertanya
seperti Musa, menganalisis seperti Khawarizmi, mengembara seperti Ibnu Batuta. Lalu sebagai manusia yang tak
berdaya dan lemah, manusia yang penuh
dengan keterbatasan, adakah kita mampu “membaca” seperti itu?
Namun
Allah berbicara dengan banyak bahasa, tak ada alasan untuk tak “membacanya”, hal
sederhana yang mungkin bisa kita lakukan adalah menggunakan perasaan sebagai
sensor untuk menangkap pertanda, melalui syariat sebagai pemandu untuk mengenal
Tuhannya. Lalu apakah kita sudah benarbenar mengenal Allah? Pertanyaan itu selalu
mengikutiku ketika aku hendak berupaya mengakui keimanan sendiri. Apakah aku
sudah benarbenar mengenal Tuhan? Atau hanya berpura-pura kenal? Barangkali kita
belum benar serius bertafakkur, melainkan hanya menyusun ulang pikiran-pikiran
orang lain tanpa pernah benar-benar mengerti. Sesungguhnya tak ada yang benar
kumengerti.
Aku
jadi ingin belajar lagi melafadzkan namaMu, tertatih mengejanya huruf demi
huruf, hingga menjadi utuh, lengkap terbaca di batinku. Padahal langit sudah berzikir,
malam telah mengukir kerajaan dan memahat istana Tuhan dengan megah. Namun mengapa
kita masih saja terpejam dan merasa kesepian? Mencari-cari cahaya untuk sekadar
merasakan terang, merasakan nyaman. Padahal aku merasa Kau memperhatikanku dari
berbagai arah, arah yang tak pernah kuketahui. Adakah aku benar membalas
perhatianMu?
Rasionalku
terbatas dalam menafsirkan arsyMu yang agung, namun aku percaya, sebagai
makhluk, apalah yang bisa kulakukan selain percaya. Tetapi kadangkala aku merasa
seperti Santiago dalam Sang Alkemis, memilih menjadi pengembara dari gurun Andalusia
hingga ke Mesir, sibuk menduga hartakarun yang pada akhirnya toh tiada,
membodohi akidah sendiri. Waktu-waktu telah kulewati dengan abai, aku berpijak
pada lelah yang tak kunjung terbayar, terhanyut dalam lautan tanpa dasar. Hingga
di malam ini, aku ingin benar-benar terbang menyusuri segala liku naunganMu,
menyampaikan tubuhku dalam keyakinan yang tak lagi goyah. Waktu berlarian
mengejarku, aku mengejar angan yang berlarian mengejar waktu. Apakah kita
sanggup berkejaran dalam sebuah masa yang pasti akan ada batasnya, apakah kita
sanggup berkejaran dalam ketidakpastian. Adakah yang lebih pasti daripada
kematian?
Kematian
tak pernah meminta izin akan kepada siapa ia datang, termasuk para syuhada yang
tak tahu apakah kematian akan sampai saat sedang di medan pertempuran. Bukankah
Sultan Muhammad Al-Fatih pun tak tahu bahwa kematian akan sampai padanya saat rencana
sudah terbentuk dan teluk Bosporrus sudah berhasil disebrang. Namun Tuhan memberikan
gejala yang bisa ditangkap oleh akal, buah pikir, maupun perasaan. Seperti yang
diwasiatkan kepada generasinya sebelum Sultan itu wafat: Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir,
karena aku meninggalkan seseorang sepertimu.
Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Begitukah, Gie? Apakah mati adalah hal
yang buruk? Bukankah manusia tak pernah bisa berkehendak, bahkan Nietzsche yang
seorang atheis pun berkata untuk terus mencintai takdir, takdir untuk dilahirkan,
takdir menjalani usia, mengalami ketuaan dan takdir akan ruh dimatikan. Jasad
hanyalah medium untuk menjalankan kehidupan, kita tak bisa memilih akan
dilahirkan atau tidak, akan dilahirkan oleh siapa dan dalam keadaan bagaimana. Kematian
hanyalah ketiadaan hidup di dunia.
Yang
pernah lahir pasti akan mati..
Adakah
yang sudah kita persiapkan untuk menyambut tamu agung tersebut jika kelak ia
datang? Mungkin tak ada. Maka naiflah, aku memang mengaku mencintai Allah
beserta rasulNya. Tapi apakah cinta itu sebenarnya..
Dari
kejauhan, takbir masih berkumandang. Subuh masih jauh, ingin kubaringkan tubuh
pada rumput yang membentang, membiarkan bintang-bintang berjatuhan ke mataku,
memecahkan embun di dalamnya, menunggu hari esok dan memastikan apakah kita
masih beriman atau mungkin sudah melupakan?
2013