Sebentar lagi sampai


Sebab rumah adalah ibu yang merawat luka zaman dari peperangan panjang itu..


Melewati jalan-jalan panjang, tikungan-tikungan tajam, ada perasaan yang berulang dan seperti tidak dapat selesai. Kenangan mengenalkan dirinya lagi dari bau yang didenguskan udara, aku hendak mendesis seperti ular yang mengalami dejavu-dejavu. Tempat ini, tempat itu, tempat-tempat singgah yang pernah menjadi tumbal dalam segala laku, kesibukan, penat, dan tawa.

Moment yang pudar namun masih terekam sebagian dan sebagian. Imaji mengeliar, menjeratku pada pusaran waktu, memaksaku lagi untuk merindukan halhal yang dulu kuanggap begitu-begitu saja. namun aku ingin kembali, perasaan ingin kembali adalah perasaan yang kumaksud tak dapat kuselesaikan, tak bisa kuwujudkan dalam realitas meskipun dalam waktu dan ruang yang lain. Waktu berlari.. dunia berlari, banyak yang berubah, rumah kos-kosan yang dibangun dengan tembok tinggi, kamar-kamar yang diperbanyak, warung-warung makan yang mengganti pemilik, namun tak ada yang berubah pada kenanganku dan hanya aku seorang yang mampu melihatnya.

Beberapa kali mengalami kepindahan, membereskan perabotan, pakaian, buku-buku, dan berharap menemukan tempat yang lebih nyaman, yang bisa menerimaku dalam keadaan bagaimanapun. Meninggalkan kenangan dan sahabat-sahabat yang pernah bersama dalam lelap dan terjaga, perbincangan-perbincangan mulai dari yang tak penting, semi penting, penting, dan sangat penting pernah mengisi tahun-tahun dalam masa mencari jati dari itu. Segalanya terekam, kemudian sedikit demi sedikit terbang, lalu masih adakah yang selamat dari ingatanku yang terbang itu? Masih dan akulah yang menyelamatkannya sendiri dengan kembali memberinya nama satu-satu. Aku pernah tinggal disini, disini, disini, dan disini. Kamar-kamar yang pernah menjadi rumah kepulangan; saksi dari malam-malam kantuk, teman dari sepi-sepi yang menyakitkan, penawar dari penyakit tukak lambung yang memarah, juga riuh tawa yang pernah menjadi lagu pengiring kehidupan disini, disana, disitu. 

Malam memanjang, burung-burung pulang ke sarangnya, tapi aku entah kemana. Rumah bagiku seperti barang langka yang mesti kutemui dengan susah payah, dengan jerih yang tak biasa. Aku jadi ingin punya banyak rumah, memulangkan diriku sendiri ke tempat berbeda setiap hari, yang tak perlu melalui perjalanan panjang, antrian-antrian pahit, dan dingin yang menjeram badan.

Namun ada seseorang yang menunggu dirumah dengan cemas yang tak bisa ditawar, jam malam diberlakukan, lewat dari peraturan senjata disingsingkan ke pinggang, benteng-benteng mengerahkan pertahanan, wajah dengan tampang garang dipasang, pertanyaan-pertanyaan tanpa jeda dilepaskan dari busur, aku seperti tawanan yang sudah kehabisan tenaga tapi masih harus menjawab berapa pasukan perang yang tersisa, dimana tempat persembunyian, berapa sisa harta rampasan dan sebagainya, dan sebagainya.  

Aku ingin dipercaya seperti induk elang yang melepas elangnya mengembara, suatu saat jika makanan sudah terkumpul, dan perjalanan telah habis, aku akan merindukan rumahku sendiri, komposisi rumah yang sebenarnya: rumah beserta keluarga di dalamnya. Aku berjanji akan pulang tepat waktu, aku akan pulang tepat waktu, aku mengucap janji ini sebanyak dua kali, yang satu untuk ibu yang menunggu, satu lagi sebagai pengingat untuk diri sendiri.

Angin menyelinap dari jendela bus kota, mengusap wajahku. Malam yang temaram dan kota masih saja sedingin ini. Kurapatkan lelah dalam balik jaket, mendekapnya erat hingga lengket ke dalam tulang.. Sebentar lagi sampai..


September 2013