Dini hari ketika kulerai selimut
dari mataku, aku berdoa supaya esok masih begini, supaya setiap hari adalah hari ibu, hingga masih bisa kutatap wajahmu
yang tua itu. Kau tak memalingkan tubuhmu, namun aku seringkali memalingkan wajahku.
Aku mengagumi caramu
memperhatikanku yang berlebihan. Pertanyaan demi pertanyaan justru semakin
mengosongkan pikiranku. Apakah yang hendak kuberi jawaban, jika tak ada lagi
yang mampu kuselamatkan dari surga di bawah telapak kakimu. Percayalah, kelak
jika kesedihan datang, akan kuterima sebagaimana aku menerima bahagia ke dalam
dadaku. Tak ada yang bisa menghentikan takdir yang berjalan di lingkar kepala
kita, bukan?
Terimakasih sebab malamku tak
pernah kelaparan, selalu ada wangi dari balik tudung saji ketika aku hampir tak
bisa terjaga untuk meramu perjamuanku sendiri. Kau duduklah di hadapanku. Tanyakan
apa saja yang kau mau, pisang susu atau keping dadaku yang dilumuri madu?
Barangkali akan ada dosa yang
terjadi begitu saja, namun apalah cintaku ini yang tak lebih kuat dari sisa
tenaga putaran mesin cuci? Aku hanya tak ingin melihatmu lelah dalam renta. Aku
ingin kau terjaga dan menyapa pagi dengan tawa yang lebar, meyakini bahwa
segala yang benar tak akan sia-sia terbakar.
Lambungku ini belum terkena semua
getah. Aku mungkin takkan jera. Tapi akan kuhentikan kebiasaanku yang
semena-mena agar kau tak kecewa. Agar tak lagi ada seseorang yang terbangun di
tengah malam untuk menanam obat di perutku, dan menuainya ketika musim sudah
berbuah. Aku hanya ingin mencintaimu, namun aku sering bersedih sebab tak bisa
melakukannya dengan cara yang wajar.
Lalu aku menyimpulkan dari dongeng-dongeng
tua yang kau kisahkan lewat mata itu: tak ada yang masuk akal dari cinta
seorang perempuan kepada anaknya.
November 2013