Aufklarung (1)

Kali ini sesak dan kosong benar-benar menghimpit dada. Leher yang tengadah pada langit mendengungkan bahwa pagi tetaplah pagi, siang akan tetap menjelang. Namun gonggong iblis dan setan terus menusuk pikiran.

Berkali-kali waktu mengambang di atas kepalaku, berkali-kali itu pula aku menafsir gejala sembari demam menyebutkan: bahwa aku akan terus berjalan, selama arahnya ke depan.

Seperti yang terlalu tiba-tiba, laut merah itu terbentuk dalam bayangan, menghempaskan makna juga sebuah tanya, apakah Fir’aun adalah korban? Seorang korban yang terlambat untuk paham?
Jika memahami adalah perjalanan yang sangat panjang, maka telah kubalut luka serta perih pada duri yang menancap daripada kaki-kakiku. Jejak yang sebentar tercatat dan mungkin akan terhapus angin.

Namun dalam sebuah subuh, seseorang mesti benar-benar mencari, lalu menerima. Kelak sesuatu yang telah membikin lubang di dadanya akan benar-benar sirna.

Jika memahami adalah perjalanan yang sangat panjang, maka waktu sebenarnya adalah jembatan  yang sangat pendek, sebentar kita akan sampai di seberang, sebentar ajal akan mendarat dalam tabung kerongkong yang padam.

Januari 2014.