Kali ini sesak dan kosong benar-benar menghimpit
dada. Leher yang tengadah pada langit mendengungkan bahwa pagi tetaplah pagi,
siang akan tetap menjelang. Namun gonggong iblis dan setan terus menusuk pikiran.
Berkali-kali waktu mengambang di atas kepalaku, berkali-kali
itu pula aku menafsir gejala sembari demam menyebutkan: bahwa aku akan terus
berjalan, selama arahnya ke depan.
Seperti yang terlalu tiba-tiba, laut merah itu
terbentuk dalam bayangan, menghempaskan makna juga sebuah tanya, apakah Fir’aun adalah korban? Seorang korban
yang terlambat untuk paham?
Jika memahami adalah perjalanan yang sangat panjang,
maka telah kubalut luka serta perih pada duri yang menancap daripada
kaki-kakiku. Jejak yang sebentar tercatat dan mungkin akan terhapus angin.
Namun dalam sebuah subuh, seseorang mesti benar-benar
mencari, lalu menerima. Kelak sesuatu yang telah membikin lubang di dadanya akan
benar-benar sirna.
Jika memahami adalah perjalanan yang sangat panjang,
maka waktu sebenarnya adalah jembatan yang sangat pendek, sebentar kita akan sampai di seberang, sebentar ajal akan mendarat dalam tabung kerongkong yang padam.
Januari 2014.