Tikungan yang Paling Krusial


Memutar kembali perjalanan yang telah kulewati tahun-tahun belakangan. Menurutku usia 20-an adalah usia yang paling krusial. Apalagi usia menjelang 25, ya! Aku mulai mendekati tikungan yang paling krusial dalam hidupku. Saatnya memutuskan pilihan, saatnya beranjak meninggalkan hal-hal yang tak perlu. Aku mulai menyadari, bahwa ternyata dewasa itu tidak semenarik yang kubayangkan.

Memikirkan pikiran…

Ini yang terakhir kali kupikirkan. Aku menjalani detik-detik dimana aku mencoba untuk mandiri. Mencoba membuat keputusan apa-apa yang tak aku senangi dan yang membentur segala idealismeku. Memutuskan berpisah dengan anak-anak didikku, walaupun sampai kini mereka masih saja bilang kangen. Ha-ha-ha. Itulah yang lucu dari hidup.

Kadangkala kita tidak menyadari betapa berartinya seseorang sebelum orang itu benar-benar hilang dari pandangan. Sebelum kita kehilangan. Tapi jika ditanya “Apa kehilangan terbesarku?” Kehilangan terbesarku adalah kesempatan melihat murid-muridku beranjak dewasa. Itu yang kusedihkan, tapi aku tidak mau terpaku oleh kesedihanku. Perpisahan akan selalu ada, sebagaimana adanya pertemuan. Itulah konsep dari kehidupan ini. Datang dan pergi, sehat dan sakit, sedih dan senang. Aku menyadari itu tanpa perlu memusuhinya

Lalu mencoba untuk produktif menulis dengan menjadi penulis artikel di salah satu web kesehatan. Tak pernah terbayangkan, tapi aku jadi tahu dan mulai membiasakan diri hidup sehat. Ini tentunya berguna bagi diri sendiri dan juga orang-orang terdekatku. Mulai bisa memilah milih makanan dengan gizi yang baik. Jujur saja, dulu aku orang yang cenderung cuek apalagi terhadap makanan. Malas makan dan jajanan seperti gorengan-gorengan itu adalah makanan kesukaan.


Semenjak mengetahui tentang kesehatan, aku menjadi lebih peduli dengan apa yang kumakan, apa yang orang lain makan. Ya, segala sesuatu itu berawal dari perut. Dan salah satu kepedulianku adalah dengan belajar memasak makanan yang sehat, ini penting. Aku menghitung-hitung dan menganalisa apa yang bisa kupelajari dari pekerjaanku. Pernah teringat dulu aku ingin kuliah jurusan ahli gizi lalu bekerja menjadi koki di rumah sakit. Ini tak terwujud, tapi aku melakukan semacam ini sekarang. Masih ingat konsep jawaban Tuhan? (Ya, belum, dan ada yang lebih baik). Ini juga semacam pengabulan doa Tuhan dalam bentuk yang lain. Dan aku mensyukuri itu.

Keuntungan lain bekerja di rumah adalah tak perlu repot melewati macet. Kapanpun dan bagian dari Jakarta yang manapun sebagian besar sudah padat dan macet. Namun entah kenapa, orang-orang tabah menerimanya. Itu yang masih menjadi kesalutanku, orang-orang Jakarta sanggup bertahan hidup bertahun-tahun dengan berdesak-desakkan dan menghabiskan waktunya di jalanan.

Kembali ke tikungan yang paling krusial. Aku mencoba membangun pola pikirku sendiri. Mengenai kedewasaan dan kemandirian. Serta tak ingin lagi merepotkan orang tua, malah sebaliknya. Aku yang mesti rela meluangkan waktuku mengurus rumah.


Dimulai dengan bangun lebih awal 3 jam dari biasanya. Sejam dipakai untuk merapikan diri dan beribadah. Lalu pergi belanja sayur dan lauk pauk, memasak air, masak nasi, dan membersihkan rumah. Kadang terpikir untuk olahraga sekadar jogging atau jalan-jalan pagi. Tapi sungguh tak sempat, toh dengan mengurus ini itu kaloriku sudah cukup terbakar :p Karena rasanya waktu 24 jam itu sehari rasanya tak cukup buatku. Terlalu banyak yang mesti kuselesaikan, pekerjaan-pekerjaan rumah, melakukan hobi, pekerjaan-pekerjaan untuk web, serta waktu untuk keluarga dan teman-teman. Yang terakhir itu yang sering kukorbankan, waktu untuk teman-teman.

Tahap kemandirian selanjutnya aku mulai menjaga barang-barang pribadi. Aku mulai senang menata kamarku, bagiku kamar adalah ruang kerja dan istirahat. Untuk itu kamar menjadi bagian yang terpenting dari rumah. Selanjutnya menata dapur (ruang kerjaku yang kedua). Ha ha. Lalu ingin sesekali menata ruang depan di loteng menjadi rooftop buatan dengan banyak tanaman. Semoga bisa segera terwujud. Kemudian memulai untuk memisahkan dan membeli remeh temeh perlengkapan makan atau mandi sendiri. Walaupun masih tinggal satu rumah dengan orang tua, tapi aku tak ingin bergantung lagi. Aku mencoba untuk tidak bergantung pada siapa-siapa lagi.

Aku juga mulai melancarkan mengendarai motor agar tidak lagi mengandalkan diantarkan atau dijemput. Selain itu bisa pergi kemana tempat yang ingin dituju sendiri. Setidaknya dapat bermanfaat juga untuk saudaraku jika ingin minta diantarkan kemana atau dijemput. Kelemahanku hanyalah tidak mengerti jalanan dan sulit sekali menghapal jalan. Tapi setidaknya aku mencoba untuk bisa diandalkan, bukan mengandalkan lagi. Itu tujuanku yang dinamakan kemandirian. Walaupun lebih sering bapak tidak mengijinkanku pergi. Aku menurutinya. Aku menerapkan apa yang kupelajari tentang konsep manusia dan hewani. Aku bisa pergi, tapi kata bapak tak boleh. Maka aku tak akan pergi.

Tingkat kedewasaan yang lain diuji ketika menghadapi orangtua dengan usianya yang sudah sangat senja. Serta menghadapi beberapa keponakan yang masih kecil dan sedang sangat aktif. Hidupku menarik, dan aku bersyukur setiap apa yang Tuhan berikan. Ujian kesabaran sesungguhnya justru terletak di saat menghadapi orang tua dan anak kecil sekaligus. Menghindari ngedumel dan mencoba menerima. Penerimaan itu bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.

Aku percaya setiap kebaikan yang dilakukan akan kembali ke diri sendiri. Sekarang aku menerima itu dengan sepenuhnya kesadaranku. Mencoba menjadi orang yang mudah untuk memaafkan walau tidak pernah ada kata maaf yang diterima. Aku belajar itu dari keponakan-keponakanku yang masih kecil. Aku tidak lagi marah dan menyimpan kemarahan. Aku bersyukur melewati bagian ujian ini. Kadang sering ingin menangis setalah menghitung-hitung berapa banyak yang Tuhan beri dan berapa banyak hutang-hutangku padaNya. Betapa miskinnya aku dan itu yang membuatku selalu bersyukur.

Sementara soal mimpi-mimpiku, biarlah Allah yang memeluknya...