Kais & Jo

Tibalah aku kini pada hari Minggu, hari kesukaanku, hari kebebasanku, hari penebusanku. Membebaskan diriku dari berbagai macam gangguan kedua keponakanku, Kais dan Jo. Hari penebusan segala kelelahanku, hari kesukaanku melakukan berbagai macam hal-hal yang kuinginkan.

Walaupun aku memang menikmati segala bentuk kedekatanku pada anak-anak, memeluk, mencium, berbincang, tertawa, dan bermain. Menikmati segala kebodohanku sendiri, pura-pura mati ketika Jo mengarahkan pistol mainannya ke arahku. Lalu Jo tertawa puas melihatku mati, Kais membangunkanku, dan aku pun pura-pura hidup lagi. Jo kembali menembakkan pistol mainannya ke arahku, aku berpura-pura mati lagi, Jo tertawa dan Kais membangunkanku hingga aku hidup lagi. Begitu seterusnya dan berulang setidaknya sampai 10 kali. 10 kali tembakan, 10 kali pura-pura mati, dan 10 hidup lagi dan tawa mereka tidak berkurang sedikitpun. Anak-anak memang setia, setia pada cara bahagianya sendiri.

Pernah Kais berkata kasar dan memukul Jo. Jo yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan setiap hari suhu tubuhnya selalu tinggi daripada Kais memang terkadang lebih kuutamakan. Jangan sampai ia terluka atau sakit. Aku memarahi dan menyentil bibir Kais. Ia diam, aku diam. Entah jenis diam bagaimana yang ia rasakan padaku, tapi seakan ada bara yang tercekat di tenggorokanku, panas. Kais menatapku, tatapan pasrah, aku harap dia menangis, tapi harapanku tidak terjadi. Kais tak menangis, hanya pasrah. Aku peluk dia dan meminta maaf atas sentilan tadi. Menasehatinya agar tak boleh memukul saudara, kuharap ia mengerti apa yang kukatakan.

Aku memilih untuk menikmati bagaimana cara menahan amarah dan akhirnya hanya bisa tertawa tipis sekaligus miris. Menikmati bagaimana kesetiaan mereka padaku benar-benar teruji, dengan tetap tertawa padaku walaupun aku hilang kendali, memarahi. Seringkali aku malu pada diriku yang tak bisa memiliki keikhlasan seperti Kais dan Jo, bahkan 1 persen pun dari keikhlasan mereka aku tak punya.

Sesekali jika bosan di rumah, aku ajak Jo dan Kais ke lapangan luas bekas rumah-rumah gusuran. Di sore hari banyak anak-anak menarik dan mengulur benang layang-layang, menerbangkannya ke langit. Puluhan layang-layang mewarnai langit. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tak segan  turut menarik-ulur tali layangan. Aku menunjuk-nunjuk beberapa layangan untuk dilihat mereka. Setelah puas melihat anak-anak bermain layangan, ku ajak mereka pulang lalu makan. Perlu upaya keras untuk membuat mereka akur dalam satu permainan atau dalam satu kebersamaan.

Sering sekali Kais dan Jo memperebutkan mainan, atau makanan, atau apa saja atau siapa saja yang bisa mereka perebutkan, yang bisa jadi alasan untuk pertengkaran mereka. Kadang-kadang pertengkaran mereka terasa lucu tapi lebih sering mengenaskan. Kadang-kadang Jo yang menjadi korban, kadang pula Kais yang menjadi korban. Tapi lebih sering Jo yang kalah, karena mungkin ukuran tubuhnya yang lebih kecil. Jo juga ompong tidak seperti Kais yang tumbuh dengan gigi rapi dan putih. Deretan giginya sering ia tonjolkan dan dijadikan senjata saat bertengkar. Kadang tangan, kadang leher atau bagian tubuh lain dari Jo yang bisa digigit akan digigit. Aku pun tak jarang dijadikan sasaran gitgitannya.

Suatu hari, aku menunjukkan foto wisudaku pada ibuku, beberapa foto wisuda yang dibawakan temanku Ratih dengan sangat hati-hati, aku pun membawa foto-foto itu ke rumah dengan sangat hati-hati pula. Tapi hari itu Tuhan menguji kesabaranku lagi, Kais melecekkan semua foto-foto wisudaku, patah, dan tak ada lagi foto yang tampak sempurna. Aku hampir menangis, mengingat upayaku dalam kehati-hatianku yang luar biasa itu ambruk sudah. Sesuatu yang panas lagi-lagi mengental di tenggorokanku. Pasrah dan kembali kusimpan foto-foto itu di sebuah berkas file, kutempatkan di pojok rak buku, rasanya aku tak ingin melihat foto-foto itu lagi untuk selamanya. Dan rasanya sudah malas sekali untuk mencetak ulang foto-foto itu.

Seperti juga hari yang lalu, aku membeli sebuah meja kayu berkaki besi dengan gambar kartun Sofia, setelah berminggu-minggu kutahan untuk menimbang-nimbang dengan sangat lama,  apakah aku benar-benar membutuhkan meja itu. Hingga kemarin aku memutuskan untuk benar-benar membelinya, Ya! Kupikir aku benar-benar membutuhkannya untuk menulis. Sebuah meja yang apik, kulipat dan kuletakkan di sudut kamarku. Aku pergi sebentar ke luar beberapa jam untuk menyelesaikan pekerjaanku.

Sekembalinya ke rumah, kudapati meja kayu berkaki besi dan bergambar kartun Sofia itu sudah patah tak berdaya di tempat tidur. Pikiranku langsung berlari kepada Kais dan Jo. Memang tak ada yang melihat dan terbukti mereka pelakunya, tapi menurut dugaanku mereka duduk dan menggelendot di atas meja kayu berkaki besi itu. Aku mengelap wajahku, menahan kekesalanku, lalu menatap mereka, Kais dan Jo, secara bergantian. Dan mengajukan pertanyaan serius kepada mereka “Siapa yang merusakkan meja kayu berkaki besi yang baru kubeli itu?”. Mereka hanya diam melongo menatapku, tatapan yang sama ketika aku memarahinya, tatapan polos yang membuatku selalu merasa bersalah. Tatapan kesetiaan yang seolah menertawakan sifat kekanak-kanakanku.

Anak-anak memang membawaku untuk melupakan duniaku dan masuk ke dalam dunia mereka, dunia yang hanya bisa dimengerti oleh mereka. Aku bukan orang yang pandai membaca pikiran dan isi hati, tak pula mudah peka dengan kebutuhan mereka. Pikiranku yang menyatakan bahwa aku sudah lebih dewasa dari Jo dan Kais adalah sebuah kesalahan besar. Aku, nyatanya, lebih kanak-kanak dibandingkan mereka. Aku, nyatanya, tak cukup pantas untuk diberi tatapan kesetiaan yang luar biasa dari mata polos mereka.  

---Di suatu siang yang panas di bulan Februari, 2015