21 Februari 2015 pukul 06.15, tidak ada lagi denyut pada jantungnya, tidak ada lagi suara yang menghentak-hentak dadanya. Semuanya begitu sunyi, seperti kata Bodhi dalam novel ‘Akar’, tidak ada yang lebih merdu dari suara detak jantung. Dan detik ini untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merindukan suara detak jantung dari seseorang, detak jantung nenekku.
***
Mbahku Iyem dan Tetangannya Mbah Narni |
Aku tahu, sedari kemarin, saat duduk di bangku bus dalam
perjalanan menuju kampung, jutaan anak panah penyesalan seperti menyergap punggunggku.
Lagu dangdut yang mengalun dari televisi pak supir hanya seperti suara
bandul-bandul jam di telingaku yang terus menghitung mundur momen-momen ingatanku.
Setahun lalu saat aku pulang kampong dan pergi ke sawah,
membantu mbah memetik kacang panjang yang sudah tua. Lalu berisitirahat di
amben kayu beratap jerami di tengah sawah. Mbah memiliki tangan dan kaki kaki
yang kuat, aku tahu itu, jauh lebih kuat dariku. Saat mbah melahirkan mama yang
premature, waktu usia ke hamilan 7 bulan. Saat itu mama hanya berukuran sebesar
botol kecap, mama yang menceritakan padaku. Jaman dulu tak ada kotak inkubasi
yang biasa digunakan untuk tindakan bayi-bayi premature. Dulu, entah bagaimana
caranya, mbah bisa bertahan dan mempertahankan mamaku.
Bus masih melaju dengan kencangnya. Bibirku mengumamkan
lirih doa-doa yang pernah kuhapal saat pelajaran agama di sekolah, atau
shalawat-shalawat yang sering kudengar sehabis maghrib dari to’a masjid dekat
rumahku. Berharap doa-doa itu akan membangunkan nenekku dari
ketidaksadarannya selama beberapa jam belakangan. Berharap dan berharap mbah
akan baik-baik saja. Meski aku tahu, mbah tak lagi baik-baik saja semenjak
ditemukan jatuh tak sadarkan diri di dapur oleh Mbah Narni -tetangga mbah-kemarin.
Bus terus melaju kencang menembus kabut malam, seperti harapan-harapanku
yang tak tergenggam. Pikiranku berlarian antara mbah dan mama, mbah yang tak
sadarkan diri mungkin sedang menghadapi puluhan atau bahkan ratusan ‘makhluk
asing’ yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mama dengan kesedihannya yang
tertinggal di rumah karena tak bisa ikut mengunjungi mbah, bahkan di saat
kritis seperti ini. Sepanjang jalan, hanya gelap dan pohon-pohon yang kulihat
dari kaca jendela bus. Hanya gelap dan pohon pohon, tak ada apa-apa lagi.
Aku lalu teringat pesan singkat dari kakakku 2 hari lalu,
bahwa ia bermimpi rambutnya dipotong menjadi pendek oleh mama lalu ia menangis
sedih sekali. Aku yang tak begitu menyukai mimpi hanya mengacuhkan pesan itu
dan tak membalasnya. Dan hari ini saat kukabarkan padanya bahwa mbah kritis, ia
langsung kembali membahas mimpinya, bahwa arti dari mimpi yang ia cari di
internet adalah akan berpisah dengan orang yang dikasihi (kekasih, orang tua,
kakek atau nenek).
Entahlah, semuanya seperti rangkaian peristiwa yang aku tak
mengerti. Takdir, akankah Tuhan menjawab doaku dengan mengubah takdir? Atau
lantas tidak mengubah doa tetapi menambah keikhlasan dalam hati? Tapi Tuhan,
apakah sekarang adalah waktunya?
Aku, Amir, Lek Tuti , lek No, dan Lek mi, malam itu penuh
dengan keheningan. Aku tahu, setiap dari pikiran kami pasti sedang memikirkan
hal yang sama. Bagaimana keadaan mbah? Adakah kami sempat? Adakah kami sempat?
Aku berusaha memecah keheningan dengan menawarkan potongan roti besar, tapi
semua menolak. Tak ada yang nafsu makan sejak sore tadi. Perut kami, seperti
pikiran kami, hampir kosong.
Pukul 01.40, kami tiba di terminal Wonogiri, dengan badan
yang beku. Ya, pendingin di bus kurasa disetel sangat rendah, selain itu cuaca
malam Wonogiri benar-benar membuat tubuh kami kaku. Lek no langsung berjalan ke
arah pertigaan, kami mengikutinya dari belakang. Rumah sakitnya berada sekitar 100
meter dari terminal dan kami berjalan menuju rumah sakit dengan perasaan yang
amat tak karuan.
Setibanya di depan Rumah Sakit, Lek Eem menelpon dan
mengabarkan bahwa kata dokter, pembuluh darah mbah telah pecah. Pecahlah juga tangis
kami sambil bergegas merangsek masuk ke dalam rumah sakit. Lek Mi terhuyung
seakan mau pingsan. Benar, ia lemas dan tak mampu berdiri. Lek tuti dan Lek No lantas
langsung masuk ke dalam ruang ICU diikuti aku. Aku dan Lek Tuti membaca doa-doa dengan suara yang terkadang hilang ditelan tangisan. Masih
dengan harapan yang sama, doa-doa itu akan dapat membangunkan mbah dari
kritisnya.
Detik-detik yang berjalan adalah hitungan tiap tetes tangis
dan doa kami, harapan dan kesedihan seperti nafas yang kami hirup dan buang.
Beberapa jam terlewati, mbah masih tak sadarkan diri, bahkan detak jantungnya
semakin melemah. Setidaknya itu yang dapat kulihat di monitor. Napasnya yang
kacau dan keras merupakan senjata biologis yang menyayat perasaan kami.
Harapan kami belum lekas terjawab dan perlahan doa-doa itu
pun hendak berganti harapan : doa-doa ini akan memberikan ketenangan padanya. Pukul
06.15 detak jantungnya berhenti, nafasnya habis, garis di monitor sudah
berjalan lurus. Mulut kami mengucapkan doa-doa panjang, sepanjang air mata
kami.
***
Rasanya tak percaya, kau yang kuat dan nyaris tak pernah
sakit kini benar-benar menjemput maut di tengah keheningan. Pernah kau berkata,
jika aku meninggal nanti, aku ingin meninggal tanpa menjadi beban. Dan sekarang
aku percaya, bahwa kau adalah orang yang benar-benar serius dengan ucapanmu.
Kau menepati janji, dan Tuhan merestui doamu. Tak ada tanda-tanda bahwa kau mengalami sakit, kau bahkan
masih pergi ke sawah setiap hari, bahkan sehari sebelum kau ditemukan jatuh di dapur. Dan buktinya kini hanya sehari, kau hanya memberikan waktu
kepada kami untuk melunaskan pertemuan, untuk benar-benar merawat dan mendoakanmu.
Aku mengamini hadits Nabi saw. bahwa sebaik baik nasihat
adalah kematian. Aku menangis entah untuk apa. Bukankah ini kabar bahagia untukmu? perjalanan panjang nan melelahkan dalam hidupmu telah usai, dan kini saatnya
kau tertidur.
Untuk kehilangankah aku menangis? Itu sudah pasti, setiap kehilangan
membekaskan kepiluan. Dan kuakui, ini kepiluan terbesarku sepanjang 25 tahun
aku menapaki bumi ini. Tapi apakah aku benar-benar kehilangan? Bagaimana caranya
hingga seseorang dianggap hak milik oleh seseorang yang lain? Bukankah
segalanya adalah milik Tuhan? Bahkan bakteri sekecil apapun tak pernah luput
dari kuasaNya.
"Mahasuci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu."
Semoga kelak kita berkumpul kembali di surgaNya, Aamiin.
Jakarta, 28 Februari 2015