Bismillahirrahmanirrahim.
Saya awali hidup saya dengan
kesyukuran saya yang luar biasa pada Allah swt. Telah dilengkapilah kepada diri
saya saudara-saudara yang menemani dan menyayangi saya. Orang tua yang berpuluh
tahun merawat saya. Juga dikarunikan anak-anak yang mengajarkan saya ketabahan
dan kesyukuran. Sehingga sedikit demi sedikit saya pun mulai belajar tentang
ilmu parenting. Baik dari hikmah, pengalaman, maupun tindakan langsung.
Yang pertama, hikmah tentang
seorang keluarga dengan ibu dan ayah yang bekerja. Barangkali tak ada yang
menginginkan keadaaan semacam itu. Mengingat anak adalah titipan dari Allah,
yang tidak sepatutnya dititipkan lagi (baik kepada pengasuh maupun kepada
saudara). Seorang wanita yang sibuk bekerja, atau sibuk menuntut ilmu di luar
rumah, atau sibuk mengajarkan ilmu di luar rumah hingga waktunya lebih banyak
dihabiskan di luar rumah. Tidak akan jauh lebih baik dari seorang wanita yang
mampu mengurus rumah tangganya, dicintai suaminya, dan disayangi oleh
anak-anaknya.
Kebutuhan anak mungkin tercukupi
secara materiil, tetapi tidak tercukupi dalam memorinya mengenai kasih sayang
bersama orang tua. Selama ini yang terkenal di masyarakat hanya sebutan anak
durhaka, tapi tidak ada sebutan untuk orang tua durhaka. Sebenarnya kedurhakaan
orang tua bisa terjadi lebih dulu sebelum anak itu berdurhaka kepada orang
tuanya. Pertama ketika anak tidak tidak diberikan nama yang baik, kedua ketika tidak
diajarkan ilmu Al-Qur’an, ketiga tidak diberikan kasih sayang.
Sama halnya dengan tiga kewajiban
ayah pada anaknya. Pertama menanamkan tauhid, sampai anak mengucap dan
menghayati bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan ayah. Kedua, menjauhkan anak
dari syirik, yaitu perbuatan menyembah sesuatu kepada selain Allah. Ketiga, mengajarkan
untuk tunduk dan patuh kepada syari’at. Teorinya seperti itu, tapi akan sulit
ketika menjalaninya langsung. Banyak fenomena ayah gagal, tidak bertanggung
jawab terhadap anaknya dan lebih mengikuti nafsu duniawinya. Sudahkah para ayah
mempertanyakan kepada dirinya apakah ia sudah bertanggung jawab kepada anaknya.
Ketika dua orang memutuskan untuk
menikah. Secara otomatis, mereka juga harus mampu bertanggung jawab terhadap
pilihannya. Bertanggung jawab untuk menjalani syari’at pernikahan dan bertanggung
jawab terhadap amanah Allah yang telah dianugerahkan kelak kepadanya. Memang tidak
ada yang salah dalam mengejar cita-cita. Yang salah adalah melupakan bahwa
orang tua juga semakin renta dan menua. Tidak ada yang salah dalam mencari
rizki. Yang salah adalah melupakan caranya mencari rizki dengan cara yang
diridhoi Allah swt.
Kedua, hikmah tentang seorang ibu yang merawat anaknya sendiri dan ayah yang menafkahi tanpa melupakan kecukupan untuk anak dan istrinya. Ibu yang bekerja akan lebih tidak bisa fokus dalam mengurus rumah tangga dan anaknya. Setengah pikirannya masih lelah karena pekerjaan di luar rumah. Hingga tidak mempersiapkan hal-hal yang benar dibutuhkan oleh anak. Yaitu masa keemasan (usia 0-2 tahun) yang sepatutnya diisi dengan edukasi. Mempersiapkan anak untuk hidup di masa yang akan datang, mengajak anak untuk berbicara, menceritakan segala sesuatu yang dialami atau dirasakannya.
Ibu yang fokus merawat anaknya
akan lebih mudah membentuk anaknya sesuai dengan ketentuan syari’at. Anak pun
tidak akan gampang rewel dan membangkang. Kasih sayangnya tercurah sepenuhnya
untuk anak sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap Allah. Berbeda dengan
seorang ibu yang menitipkan anak kepada pengasuh. Anak cenderung lebih dekat
kepada pengasuh daripada ibunya sendiri. Pengasuh pun belum jelas diketahui
apakah mempunyai edukasi unuk mengurus anak atau tidak. Bukan hanya soal lihai
memandikan, memberi makan atau mengajaknya tidur tepat waktu. Soal itu mungkin
sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi sudahkah pengasuh benar benar mengetahui
bagaimana cara membentuk perilaku anak yang berbudi luhur dan memberikan
pondasi agama sejak dini.
Barangkali itulah yang bisa saya
tulis dan saya coba pahami sedikit demi sedikit. Berbagi hikmah dan pengalaman
tanpa bermaksud menggurui atau mencari cela dalam hidup orang lain. Ada kalanya
kita perlu saling membuka diri, untuk mengoreksi kekurangan diri dan menerima
masukan yang baik. Saya hanya teringat kisah mengenai Uwais Al- Qorni yang
dikenal dan dikagumi oleh penduduk langit tapi jarang ada penduduk dunia yang
mengenal dirinya. Uwais sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya. Kemana
mana ia menggendong ibunya yang lumpuh dan dengan telaten merawatnya. Sampai
ketika keinginannya untuk bertemu Nabi Muhammad saw telah memuncak dan ia pun izin kepada ibunya untuk menemui Rasul ke Madinah, namun sesampainya di Madinah ia tidak bertemu dengan Rasul karena Rasul sedang berperang kala itu.
Uwais pun kembali pulang kepada ibunya. Setelah itu Rasul mengatakan bahwa Uwais adalah penghuni langit walaupun tidak terkenal di bumi. Subhanallah. Sebelum
menjadi orang tua, cintailah dulu orang tua kita. Jika cinta mereka sudah kita
genggam, maka Allah akan mencintai kita bagaimanapun caranya. Namun kini banyak
yang salah mengartikan cintaNya Allah dan menganggap bahwa kasih sayang orang
tua hanya berupa benda benda saja, hanya berupa materiil saja. Tanpa menyadari
bahwa hidup kita adalah kelindan skenario terbaik yang telah dirancang Allah
sedemikian rupa karena kasih sayangNya.
Jika kita sendiri sukar merasa
bahwa kita adalah produk terbaik dari orang tua, maka maafkanlah mereka. Jangan
membalas dengan mendurhakainya. Orang memang jauh lebih mudah mengingat hal
buruk yang dilakukan orang tua ketimbang hal buruk yang sudah kita lakukan
kepada orang tua. Ingatlah kebaikannya, berapa tahun sudah ibu setia memasak
makanan untuk kita, memandikan, bangun malam di sela sela tidurnya ketika kita
menangis karena lapar atau digigit nyamuk. Berapa puluh tahun sudah doa doa
yang sudah dipanjatkan mereka untuk kebaikan kita. Tidak ada orang tua yang
sempurna, pun tak bisa kita bersikap sempurna.
Ingatlah Umar Bin Khattab yang
lahir tanpa edukasi dari orang tua yang muslim. Namun Islam mampu membentuk
kepribadiannya menjadi sahabat Rasul yang penuh teladan. Begitupun seharusnya,
Islam menjadi panduan yang sempurna untuk hubungan dengan Allah maupun dengan sesama.
Rasul pun menyuruh kita menghormati ibu sebanyak tiga kali lalu menghormati
ayah sebagai yang keempat, padahal Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim piatu,
tanpa pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya.
Tidak akan mendapat rezeki yag baik dari Allah jika seorang anak berhenti mendoakan ibu dan ayahnya. Semoga kita dicatat sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua
sehingga bisa dikumpulkan bersama ke dalam JannahNya. Aamiin..