Liang

Aku menyeruput kopi dan menghirup aromanya dalam-dalam. Dari jarak beberapa meter tempatku duduk, terdengar suara adzan dan bunyi hujan yang jatuh ke tanah. Telingaku tak tahu mesti mendengar suara yang mana. Tapi hatiku tahu benar bahwa hanya suara itu yang terdengar.

“5 bulan.. beri aku waktu 5 bulan.”

Ya, namaku Liang dan aku seorang perempuan. Bulan depan usiaku genap menginjak 28 tahun. Ibuku tinggal di perkampungan dekat gunung dan pantai. Berdua ia menghabiskan kesehariannya bersama adik perempuanku yang berbeda 4 tahun lebih muda dariku. Aku sendiri? Terpaksa harus merantau ke Jakarta, mencari nafkah untuk keluarga dan diriku. Aku tidak menyalahkan siapapun, tidak pula ayahku yang sudah meninggalkan ibuku sewaktu aku duduk di bangku sekolah dasar.
Aku orang Jawa dan bagi kebanyakan suku kami, bahwa di usiaku yang segini sudah patut dinikahi orang. Apalagi karakter orang Jawa, bukan, ini bukan menyinggung soal RAS. Tapi aku bicara terus terang saja, bahwa orang Jawa itu suka bergosip, aku bagian yang digosipkan karena tidak juga membawa calon suami ke rumah.

Bukannya aku tidak mau menikah, tapi memang sampai saat ini belum ada satupun lelaki yang berani datang ke rumah lalu melamar. Jika adapun lelaki yang naksir denganku, itu semua di luar harapanku. Sekali saja aku pernah berharap, tapi lelaki itu tanpa basa-basi begitu saja mendiamkanku. Dan hingga detik ini suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku.
“5 bulan.. beri aku waktu 5 bulan.”

Dan ini sudah bulan keempat, aku menghitung hari demi hari penantianku. Kata orang, memang tidak ada yang bisa pasti dari perasaan manusia. Dan sudah kodratnya bahwa hati itu mudah terbolak-balik. Tapi aku ingin menepati janji. Soal perasaan memang tidak bisa pasti, tapi soal janji bukankah kita masih bisa berusaha untuk menepati?

Suara adzan pun usai dan disambut dengan iqomat. Aku meletakkan kegelisahanku barang sebentar. Dan menghadap Tuhanku dengan gembira, berusaha sepenuhnya gembira. Aku tidak mengungkapkan apa-apa dalam doa’aku. Walaupun semuanya begitu terasa sesak dan benar benar ingin kutumpahkan di bentangan sajadah dalam hadapanku. Tapi soal begini, aku sulit memilih kata-kata. Aku hanya ingin menepati janji, bukankah Allah pun Maha Menepati Janji?
Jendela kamarku sedikit terbuka dan barisan-barisan hujan sedikit menyembul di kusen jendela. Tidak ada siapa-siapa disini, aku sedang libur bekerja, beberapa kawanku pergi sejak tadi pagi. Sebentar lagi ashar dan mungkin mereka akan kembali.

Tok.. Tok.. Tok..

Suara pintu diketuk dari luar. Aku tak tahu siapa, mungkin kawan-kawanku sudah pulang ke kostnya masing-masing.

“Liang, kamu di dalam?” Suara Arinda memecahkan tanyaku dan membetulkan prasangkaku. 
“Ya, Rin. Masuk saja, Aku tidak mengunci pintunya.” Kataku sedikit berteriak agar ia bisa mendengar jawabanku. Aku membereskan gelas kopiku dan mengambil satu gelas lagi di rak untuk membuatkan Arinda segelas kopi.

“Kamu mau kopi kan, Rin?” Tanyaku kepada Arinda yang sudah masuk ke dalam kamar kosku yang berukuran 8 x 8 meter persegi itu.
“Tau saja kamu, Liang. Kalau aku ini ngantuk dan butuh kopi.” Kata Arinda sembari meringis hingga 2 buah gigi gingsulnya terlihat. Aku membalasnya dengan sedikit senyum sajadan mengambil satu sachet kopi instan rasa coklat di dalam stock rakku. Menyeduhnya lalu memberikannya kepada Arinda.
“Kamu baik-baik saja kan Liang?” Tanya Arinda kemudian  sambil menerima gelas kopi itu dari tanganku.
“Tentu saja. Kenapa?” Kataku dengan sedikit kusunggingkan senyum.
“Tidak kenapa-kenapa. Aku pun sudah mendengar soal itu. Dan aku harap kamu baik-baik saja.” Jawab Arinda kemudian menyeruput kopinya.
“Hati-hati, masih panas.” Kataku mengingatkan bahwa kopinya masih panas. Ia pun langsung menarik lagi bibirnya dari tepi gelas. Dan meletakkan gelas kopi itu di meja. Arinda menggosok-gosok tangannya dan mengusap wajahnya. Arinda menghela napasnya.
“Liang, luka itu kadang memang tak berbekas, kadang pula tak nampak. Tapi sungguh terasa sakitnya.”
“Maksudmu apa?”
“Maksudku, walaupun kamu bilang bahwa kamu baik-baik saja, walaupun bibirmu tersenyum lebar, walaupun kamu membicarakan seribu kabar gembira. Aku tahu sekali rasanya.”
“Hahaha.. aku benar tidak apa-apa kok. Kamu tenang saja, aku sudah cukup dewasa dan terbiasa dengan persoalan semacam ini. Aku baik-baik saja, Arinda. Aku…baik..baik..saja. ” Jawabku dengan pasti dan kuiringi lagi dengan tawa cukup menyakinkan bahwa hatiku dalam keadaan rapi dan tidak rusak sedikitpun oleh harapan.

Apa yang baru saja kukatakan pada Arinda itu benar jika itu kujadikan sebagai harapan dan motivasi bagi diriku sendiri. Tapi tidak, bagi apa yang kurasakan saat ini. Tiba-tiba Arinda menatapku dalam-dalam dan cukup lama. Sebuah tatapan yang aku tahu sekali maksudnya apa. Tapi aku pura-pura tidak mengerti.

“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tanyaku sambil mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapan kami. Tapi Arinda tidak menjawab. Ia malah semakin tajam menatapku, seolah ada sebuah harta karun di dalam mataku yang segera ingin ia keluarkan setelah ia mengamati letak keberadaannya.
“Haduh kamu kenapa sih Rin? Oh iya, tadi kamu kehujanan? Bagaimana? Kamu dapat buku apa saja tadi?” Tanyaku lagi untuk mencari tema pembicaraan yang lain. Beberapa detik kemudian, Arinda melepaskan tatapannya dan kembali mendenguskan nafas. 


“Tadi sempat kehujanan sedikit sih. Dan.. ya ampuuun Liang, kenapa sih buku harganya mahal-mahal? bagaimana orang mau pintar kalo butuh biaya tinggi? Aku pun tadi hanya membeli 2 buku. Itupun yang murah dan tipis sekali. 5 menit baca, selesai. Dan masuk rak buku. Habis itu dilupakan. Kasihan pula nasib sebuah buku ya!” Arinda mengoceh sendiri dengan mimic wajah yang sedikit cemberut.  Aku tahu sekali trik untuk mengalihkan pembicaraanku akan berhasil, karena Arinda sangat suka membicarakan buku. Ia rela sepanjang malam menghabiskan waktu di kamarku hanya untuk membahas satu isi buku tanpa mempedulikan orang yang diajak bicara berkenan mendengarkan atau tidak. Aku pikir tak apalah, begini lebih baik daripada perasaanku sendiri terusik oleh praduga yang macam-macam darinya. Walaupun kuakui, bahwa Arinda adalah kawan teredekatku hingga detik ini setelah 1 tahun aku mengenalnya.

Dua jam berlalu, ia menceritakan bagaimana ia menemukan buku-buku bagus di sebuah toko buku yang cukup klasik tapi ia tak punya cukup uang di dompet untuk membelinya. Cerita pun berlanjut ke sebuah buku yang dibacanya tadi malam, buku karangan Kho Ping Hoo. Bagian paling payah dari Arinda adalah ia seorang pelupa dan mudah keliru. Ia menceritakan bahwa Kho Ping Hoo adalah seorang pelaut sejati. Aku pun percaya saja dan terkagum-kagum dengan ceritanya. Tapi beberapa saat kemudian, ia menginterupsi perkataannya sendiri bahwa Kho Ping Hoo bukanlah pelaut. Kho Ping Hoo adalah seorang penulis warga negara Indonesia yang keturunan Cina. Aku pun memaklumi dan mengiyakan saja. Setelah Ia puas menceritakan isi buku yang habis dibacanya, setelah kopinya tandas diminum, ia pun pamit untuk pergi ke kamarnya yang letaknya hanya beberapa saja dari kamarku.

“Aku ke kamarku dulu ya Liang. Kopimu hanya mampu membuat mataku terjaga 2 jam saja. Hehehe. Aku ngantuk sekali. Dan kalau boleh, Maghrib nanti bangunkan aku ya! Aku ingin tidur sebentar.”
“Hahaha.. kalau gitu ngopi lagi sajalah.”
“Tidak, Liang. Kamu tahu kan lambungku itu sensitive terhadap kopi. Walaupun hatiku tidak. Hahaha.”
“Baiklah kalau begitu..”
“Oh iya, kalau aku boleh saran. Kamu coba saja hubungi dia lebih dahulu. Kita belajar berprasangka baik, barangkali dia sedang sakit atau ada hal buruk yang menimpanya sehingga ia tidak menghubungimu hingga saat ini.” Arinda berkata cepat sekali dan tanpa menunggu respon dariku ia langsung menutup pintu. Aku pun tidak mengatakan apa-apa. Selama ini aku mungkin terlalu banyak berkata-kata hingga tidak mengatakan apa-apa. Dan, barangkali benar apa yang dikatakan oleh Arinda. Aku mungkin perlu menghubunginya terlebih dahulu.




###bersambung… dan akan dilanjutkan jika takdir sudah memberi kabar. Hahaha.