Kebaikan dalam Rangka

Cerita Caknun mengenai kebaikan--Sahabat saya dari luar kota pada suatu larut malam di Malioboro Yogya menjumpai seorang penjual gudeg yang tampak agak menggigil karena kedinginan. Orang ini berjualan gudeg setiap malam sampai dinihari. Ia membayangkan dalam beberapa tahun paru-parunya akan basah, keseluruhan badannya akan sakit-sakitan, dan akan cepat tua. 
Maka jaket yang ia pakai, langsung ia berikan kepada si penjual gudeg.Yang sahabat saya tak sadari adalah bahwa penjual gudeg ini seorang gadis, perawan, yang wajahnya cukup manis. Maka esoknya tersebar berita dalam komunitas gudeg Yogya bahwa sahabat saya itu naksir si penjual gudeg, sehingga memberinya jaket dalam rangka melakukan pendekatan.Si perawan ini sendiri beranggapan demikian sehingga ia merasa sahabat saya ini sedang menjanjikan sesuatu yang akan dikembangkannya lebih lanjut. 
Maka ketika kemudian sahabat saya tidak melakukan apa-apa lebih lanjut, si perawan merasa kecewa, sakit hati, sementara warga komunitas gudeg yang lain menganggap bahwa sahabat saya ini mempermainkan si perawan gudeg. Mungkin ini contoh dari  “budaya dalam rangka” yang sudah  memasyarakat. Kalau seseorang memberi, menyumbang, melakukan kebaikan, dipahami sebagai upaya untuk menggapai sesuatu di luar kebaikan itu. Kebaikan sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri.**
Mungkin memang benar esensi kebaikan yang diargumentasikan oleh Cak Nun. Saya mengalaminya sebagai manusia juga. Begini, saya mempunyai tetangga yang sudah cukup tua, 40 tahun usianya. Dia tidak menikah dan juga tidak bekerja. Malangnya lagi ia tidak bisa pergi kemana-mana (jika sudah 5 meter keluar dari rumah ia akan merasakan sakit di tubuhnya). Alibinya di dalam tubuhnya ada jin yang sudah bercokol lama. Bukan hanya saya yang merasa kasian, kakak laki-laki saya pun juga.
Suatu hari tetangga saya datang kepada kakak laki-laki saya, memohon bantuan dicarikan seorang kiai yang bisa mengobati penyakit ‘tak logis’ yang dimilikinya itu. Ia memohon sampai menangis dan berkata bahwa ia sangat rindu pergi ke Masjid. Mendengar alasannya yang begitu menyentuh, akhirnya kakak saya pun menyetujui untuk membantunya.
Dibawalah oleh kakak saya, seorang Kiai dari Pandeglang. Jauh-jauh Kiai itu merelakan datang untuk menolong tetangga saya. Dilakukan pengobatan sakral itu di rumah saya selama hampir 2 jam. Kiai itu mengatakan, bahwa Jin di dalam dirinya sudah berhasil diusir sebagian, karena ternyata sudah banyak sekali jin yang menggelayut dalam dirinya. Tentunya itu semua dengan kehendak dan pertolongan dari Allah. Terlepas dari itu, tetangga saya pun juga harus melawan jin-jin itu dari kekuatan dan tekad dalam dirinya.
Setidaknya kakak saya sudah mencoba membantunya karena kasihan. Saya pun membayangkan betapa malangnya tetangga saya ini. Tidak ada relasi, tidak punya kegiatan yang berarti, tidak punya penghasilan baik tetap maupun tidak tetap. Jadi saya bersedia membantunya jika ia minta tolong dibelikan sesuatu, saya belikan di luar rumah. Jika ada sedikit makanan atau kue, saya berikan kepadanya dan tetangga lainnya. Jika dia minta obat-obat tradisional yang ditanam di rumah saya, saya ambilkan obat untuknya. Saya membayangkan betapa kesepiannya tetangga saya ini, sudah 40 tahun perjaka, sakit-sakitan, dan saya pikir menjadi tetangga yang siap membantu termasuk bagian dari hablum minannas.
Celakanya semua itu disalahartikan oleh tetangga saya. Berkali kali tetangga saya mengirimkan sms yang isinya menurut saya terlalu berlebihan. Dia pun sempat mengambil foto saya tanpa seizin saya ketika saya sedang berada di beranda rumah saya. Saya marah dan menyuruh dia menghapusnya. Lalu saya mengadukan itu kepada kakak saya. Kakak saya mengatakan bahwa saya mungkin harus memaklumi dan memaafkannya karena dia tidak punya teman dan hiburan lain.
Mendengar itu, saya pun kembali kasihan. Saya memaklumi, memaafkan, dan melupakan kejadian itu. Dan saya kembali bersikap baik sebagai tetangga dan membantu jika dia minta pertolongan. Namun lagi-lagi kebaikan itu dianggap sebagai sebuah tindakan ‘dalam rangka’ olehnya. Lagi dia mengirimi sms yang isinya sangat kurang ajar. Marah betul saya, saya tidak menanggapi smsnya. Dan ketika keluar rumah, saya melewatinya dan tidak lagi menegurnya sebagaimana biasa. Hal itu saya lakukan agar dia menyadari keasalahannya dan saya tidak lagi dianggap menjanjikan sesuatu kepadanya. Pada akhirnya, kebaikan memang sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri. []