Malam memutar
alarmnya kembali. Semesta gelap dan apakah yang lebih tinggi dari awan? Apakah
yang lebih tinggi dari bulan? Apakah yang lebih tinggi dari matahari? Apakah
mimpi? Dan kini apakah mimpi mimpi itu masih bisa membubung tinggi?
Pada saat itu bukan sore lagi,
hanya menjelang tengah malam. Macam-macam puisi mengantarkan saya kembali untuk
mencari perwakilan dalam soal begini. Beberapa saya temukan puisi, tapi tak
kunjung bisa terhayati dan diresap dengan keutuhan. Pun mencoba berbagai macam
cara tidur; telentang, tengkurap, miring ke samping kiri, miring ke samping
kanan, tapi mata tak juga mau terpejam. Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan, tapi puluhan burung gagak
seperti menyerbu kepala saya, berputar dan beradu mencari makanan yang tak
mungkin ia dapatkan disitu. Kupikir saya harus lebih banyak lagi mengingat
tuhan. Karena ayat suci tuhan mengatakan jika mengingatNya hati akan menjadi
tenang.
Jadi saya simpulkan yang
sebenarnya perlu dicari manusia adalah ketenangan, bukan harta, tahta ataupun
kuota, (kuota internet yang selalu kita anggap sebagai penyelamat eksistensi
kita di kehidupan modern ini). Jika ketenangan yang kita cari apakah kita perlu
sering sering pergi ke gunung, pantai atau tempat-tempat sunyi yang dimana kita
akan sanggup menemukan ketenangan diri. Atau jika tidak, kita perlu membuat
gunung hati kita, membuat pantai hati kita, membuat tempat-tempat menenangkan
dalam hati kita sendiri. Jika dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.
Artinya Allah harus selalu terkait dalam setiap langkah kita, membiarkan Allah
menyelesaikan segala permasalahan kita dan membersihkan sampah-sampah dalam
hati kita. Membiarkan Allah yang menenangkan
hati kita.
Kita ini pun pada hakikatnya saya
akui tidak diciptakan untuk diri kita sendiri. Melainkan amanat untuk supaya
mampu menyampaikan perintah Allah kepada diri dan orang-orang. Al-Qur’an jika
dirangkum, keseluruhan isinya lebih banyak menyampaikan Hablum minannas dari
Hablum Minallah. Nabi Muhammad s.a.w pun diturunkan oleh Allah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Jika ada orang rajin shalat, rajin puasa, tapi
kelakukan terhadap sesama masih ‘kok ya ga enak banget’, berarti bukan
shalatnya yang salah, bukan puasanya yang salah, bukan jilbabnya yang salah.
Bisa jadi niatnya beribadahlah yang salah. Omong kosong orang yang nyuruh
bertaubat orang lain, tapi dirinya sering ingkar janji, merugikan orang lain, tidak merawat lingkungan, bohong sana-sini bahkan bohong terhadap dirinya sendiri.
Jadi kalau manusia sudah hidup
dengan tanggung jawab terhadap manusia lain, manusia itu sudah mencapai batas
mampu mengalahkan egonya sendiri. Jika manusia sudah berhasil melakukan apa
yang tidak ia sukai, maka sudah mampu disebut manusia dewasa. Jika manusia
sudah belajar memahami apa saja yang sia-sia dan memilih keabadian yang sejati
itulah manusia yang sudah menguasai ilmu orang tua. Jika manusia sudah tidak
mudah kecewa dan mampu memaafkan orang lain maka sudah percaya bahwa Allah itu
Ghoffar. Jika manusia sudah bisa merelakan harta-hartanya untuk kemashlahatan
itu artinya manusia sudah yakin bahwa Allah itu Ar-Rozak. Jika manusia sudah
bisa mencintai dan mengasihi sesama tanpa mengharap balasan dan terima kasih
itu artinya manusia sudah bisa menyebut-nyebut dalam hatinya Al-Waduud. Jika
sudah yakin dan percaya terhadap sifat-sifat Allah maka sudah mengalirlah
ketenangan dalam diri kita. Sayangnya, keyakinan ini tidak cuma bisa kita lakukan
sekali-sekali saja, tetapi terus menerus, mengalir seperti sungai yang tenang
dan lancar arusnya. Kontinyu seperti orang bernafas, tidak pernah berhenti
walau dalam tidur sekalipun. []