Dari anak perempuanmu (2)

/ Untuk Ibu /

Aku mungkin bukan lagi seorang yang mudah meneteskan air mata ketika teringat akan kenangan tentang ibu. Air mataku kini menjelma lantunan doa yang mengiringi hari hari sepeninggalmu. Jiwaku berkaca kaca tetapi mataku memancar harapan bahwa aku akan menjadi anak perempuan kebanggaan ibu, yang bersabar dalam ujian dan berjuang dalam kesulitan.

Ibu, dua bulan lagi aku akan menikah. Tanggal sudah ditetapkan, berbagai persiapan telah disikusikan. Seandainya engkau masih duduk di sampingku. Ah tidak, karena engkau sudah berbahagia, semoga, dan tidak merasakan sakit lagi.

Ibu, mohon restumu agar aku bisa menjadi seorang istri yang baik. Doakan aku, agar keluarga kecilku kelak diliputi kebaikan dan kedamaian, akhirat maupun dunia. Dulu, engkau selalu mengajarkanku bagaimana caranya menjadi seorang ibu rumah tangga. Mulai dari cara memasak ini dan itu. Memasak perkedel, sayur sop, soto ayam atau apapun itu, aku masih keras kepala hingga tak jarang beradu argument denganmu. Kini tanpa kusadari, aku bisa memasak apa saja. Kepandaianku memasak tidak lepas kaitannya dari kebaikanmu mengajariku. Engkau, bu, chef terbaik bagiku melebihi chef-chef di restoran mahal dan terkenal.

Engkau pun mengajariku cara mencuci, memisahkan pakaian putih dan berawrna, cara mencuci bagaimana bisa menghemat air tapi pakaian tetap bersih dan wangi. Pun kau ajarkan kepadaku cara memenej keuangan dengan cermat dan teliti. Engkau, bu, dosen manajemen ekonomi terhebat bagiku melebihi dosen-dosen terbaik yang mengajar di universitas ternama.

Ibu, terlalu banyak kenangan tentangmu di setiap sudut rumah ini. Wajah tuamu selalu terbayang ketika aku masuk ke dapur, ketika aku ke kamarmu untuk merapikan sprei dan bantalnya, dan aku ingin bicara denganmu lagi melalui doa-doaku. 

Sebentar lagi, aku akan meninggalkan kenangan-kenangan di rumah ini. Lalu hidup bersama seorang yang akan menjadi penggenap imanku, yang aku akan mengabdi padanya, yang aku akan ingat kebaikannya dan aku lupakan keburukannya.

Ibu, aku tengah merasakan debar yang kencang memenuhi dadaku. Barangkali sama seperti debarmu dulu ketika akan menikah dengan Bapak. Aku tidak tahu perjalananku menjadi tua. Tapi aku telah menyerap banyak hikmah dari jutaan peristiwa yang terjadi di hidupmu dan Bapak.

Ibu, kelak akan lahir dari rahimku anak-anak zaman. Cucumu akan mengunjungiku dan memberi salam kepadamu. Tersenyum dan berbahagialah. Aku selalu mendoakanmu dan takkan pernah melupakanmu, Insyaa Allah.   


Seperti pesan terakhirmu, “Jangan menangis, doakan saja ibu.” 


#Jakarta, malam hari. Saat lelah tapi semoga lillah dan berkah.