Tetangga

Hal yang sangat lumrah jika para ibu rumah tangga duduk bersama dan mengobrolkan perihal remeh temeh. Dan saya bukanlah tipikal ibu-ibu seperti itu. Bukan, bukan berarti saya tidak suka dengan mereka. Tapi memang sayanya saja yang kuper dan sulit bersosialisasi. Sebab saya selalu berpikir keras, jika sudah duduk-duduk dan kumpul begitu apa yang bisa saya bicarakan dan obrolkan dengan mereka. Saya bukan orang yang pandai mencari topik pembicaraan dan juga bukan orang yang pandai meresponnya. Sungguh, saya benar-benar kesulitan.

Ditambah lagi perbendaharaan kosa kata bahasa Jawa saya masih sangat minim. Tapi bukan berarti saya menutup diri sama sekali. Pelan-pelan saya mempelajari bahasa Jawa dari ceramah atau obrolan suami dengan kawan-kawannya, saya juga sering menanyakan artinya jika ada yang tidak saya mengerti. Kemudian tak jarang juga saya bergabung dengan ibu-ibu di lingkungan saya, saat belanja sayur misalnya. But, Believe it or not! Saat itu juga saya seperti sedang dalam ruangan berkaca yang kedap suara, dan mereka berada di luar ruangan yang berbeda dengan saya. Saya melihat mereka tapi mereka tidak melihat saya. Saya tidak mengerti apa-apa yang mereka bicarakan dan anehnya saya memang tidak benar-benar ingin mengerti. Dan ‘awkward moment’ tersebut sering terjadi di kehidupan saya belakangan ini. Saya pun hanya diam, tersenyum dan pura-pura mengamati.

Situasi yang saya alami memang terjadi bukan tanpa alasan. Pernah saya agak kecewa kepada orang yang saya sudah memiliki antusias untuk memiliki hubungan bertetangga yang lebih intim. Namun ia tidak pernah mengajak saya untuk berbicara lebih dalam dan menanggapi obrolan yang saya angkat dan kemumakan. Seolah-olah apa yang saya katakan kepadanya itu tidak ada artinya apa-apa. Saya pernah mengutarakan bahwa saya senang memiliki teman baru yang bisa saya ajak berdiskusi. Dengan pengakuan seperti itu, saya berharap ia bisa mengenalkan saya kepada lingkungan baru secara lebih intens lagi. Saya juga pernah sesekali minta diajak jika sewaktu-waktu ia ingin berbelanja ke pasar.

Tapi entah mengapa, ia sekalipun tidak pernah mengajak saya jika ia pergi ke pasar. Saat ada undangan untuk pengajian pun, hanya saya yang tidak diajak. Padahal sebelumnya saya sudah sempat mengatakan perihal apa-apa saja yang saya inginkan dari lingkungan baru tersebut. Jarak terdekat dan frekuensi sapaan yang tinggi tidak lantas membuatnya mengajak saya berbincang dengan lebih intim di beberapa pertemuan. Jujur, saya agak kecewa. Saat itu saya merasa tidak ditemani dan saya merasa ada sesuatu dalam diri saya yang tidak ia sukai. Beruntungnya, saya selalu berhasil menyingkirkan perasaan negatif tersebut dan membunuh kekecewaan saya.

Saya memang bukan orang yang supel yang bisa berbaur dengan mudah. Butuh proses yang cukup lama dan perasaan ‘klik’ untuk benar benar bisa berbaur. Fuih….. tapi saya bersyukur, setidaknya saya masih selalu dianugrahi keinginan untuk selalu asyik menyapa atau berbasa-basi jika menemui tetangga. Itulah penyebab kenapa saya lebih suka berjalan kaki daripada naik motor ketika pergi belanja. Bagi saya itu cara yang cukup bijaksana. Tidak terlalu lekat namun terlihat akrab membuka diri. Atau sekurang-kurangnya saya masih bisa melebihkan kuah makanan dan minuman untuk saya berikan kepada tetangga terdekat saya. Ya, saya pikir itu cukup aman dan tidak akan mengecewakan. 



Bantul, 23 Mei 2017