Setiap hari aku berpikir, kenapa aku harus menunggu di tempat yang sama dan sampai dengan waktu yang lama. Seringkali pun aku lupa, tentang jadwal pemberangkatan di luar rencana dan itu artinya aku harus menunggu lebih lama.
Mungkin begini perasaan Agus Hernawan ketika membikin sajaknya seperti kalimat “Kau lihat dirimu sebagai seseorang yang tak pernah berangkat, hanya mencatat kedatangan dan kepergian”
Aku bisa jadi kadang kala seperti seseorang itu, seseorang yang hanya mengamati detik-detik yang berjalan yang terasa kian mencekik nadi-nadi penantian tanpa akhir. Setiap hari, begitu aku seperti dipaksa menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya, hanya serupa seorang pencatat begitu banyak kedatangan dan kepergian yang aku lihat silih berganti di jalanan. Dunia berjalan seperti biasa, sedang aku seperti diberhentikan oleh sesuatu, seperti ditidakbolehkan untuk bergerak sedimikan rupa, melanjutkan kegiatan, melakukan ini itu. Betapa kita sama-sama tahu, menunggu adalah sebuah kutukan yang membosankan.
Seandainya, seandainya saja, aku boleh meminta tambahan waktu, tambahan usia untuk kepergunakan khusus menunggu bus, akan kugunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Akan kutunggui bus dengan perasaan bahagia dan senyum paling lebar yang aku punya. Tidak akan lagi mondar mandir kubuang kepala ke arah jam tanganku yang rasanya jarum-jarumnya seakan mengikat kencang pergelangan tanganku.
Tetapi sungguh, betapa aku tak ingin mengeluh dan berulang kali memaksa diri mengingat ini adalah sebuah perihal biasa dalam ketentuan semesta; Ada yang menunggu, ada yang ditunggu. Rasanya aku memang mulai terbiasa untuk berada di perihal yang pertama.
2011