Membayangkan Kehilangan


Ada yang begitu kelindan daripada
Angin yang memukul pepohonan
Cuaca mulai remang, burungburung pulang ke kandang
Sedang mataku memanjang
Ke bumbungan awan yang berarak
ke pulau seberang, lalu menerka
awan yang sintal dan kenyal
itu membentuk sebuah bayang yang mungkin kukenal.

Di bawah bulan tembaga,
aku ingin mengenangmu sebagai
sesuatu yang kurahasiakan
dalam baris-baris puisi atau instrumen dari Haydn.
Seperti sejarah, ingatan mungkin terbuat
Dari bahan-bahan yang mudah melayang.
Maka atas nama hari ini,
Aku berlatih tentang kehilangan,
Belajar membayangkan kematian
Orang-orang terdekat dan menuliskan
Kartu ucapan “turut berduka cita” atas
Kepergian yang belum terjadi.

Di Hebron, orang-orang lalu lalang
Mengaumkan kehilangan buat Ibrahim,
Mensucikan kenangan dalam makam oktagon,
Dalam benteng-benteng penjagaan.
O, Kadangkala kematian terasa ramai dan sebentar.

Namun aku masih sanggup mengenangmu
Sebagai sesuatu yang tak terbalas,
Kau mengambang di ujung-ujung dahan,
Mengembun di kaca jendela yang terkena hujan
Semalam, atau sebagai sesuatu yang terlipat
Dan menguning di sebuah halaman buku harian.
Atau kau sebagai sampan, dan aku gelembung dalam ribuan
Buih yang ingin rebah di kayu yang basah
Dan kita akhirnya sama-sama menyebrang, sama-sama mengambang.

Derit kursi di sebuah taman akibat gesekan
Udara dan kenyataan tibatiba menyadarkanku lagi.
Lalu kuamati cuaca yang kembali hening,
Pepohonan tak bergerak,
Dari balik daun telinga, lamat-lamat Chairil berbisik
“Nasib adalah kesunyian masing-masing..”

Barangkali kesunyian adalah doa yang pantas.
Dan engkau tak mengerti.

2013